Jumat, 26 September 2008

kejujuran ilmiah


ini bukan tak adil yang terjadi hanyalah kesalahpahaman ilmiah,,,dan terjadinya ketidak jujuran ilmu pengetahuan,,,,,,
BUKANKAH KITA BISA MEMANDANG SETIAP PERMASALAHAN DARI BERBAGAI SISI?
tidakkah ada jalan lain untuk kita saling memahami kepentingan kita satu sama lain?
kejujuran kita yang aka bisa menjawabnya,,,,,,,,

coretan terbaikku,,,,,,,

Hak Reproduksi Perempuan dalam Tinjauan Agama Islam


A.
Hak-hak reproduksi perempuan perspektif Islam

Bicara reproduksi perempuan sesungguhnya adalah bicara soal tubuh perempuan berikut semua yang dimilikinya. Ia bukan sekedar seonggok tulang yang dibungkus daging dan kulit serta organ-organ reproduksi, tetapi juga hati nurani dan akal pikirannya. Ia adalah tubuh manusia dengan seluruh eksistensinya seperti manusia berjenis kelamin laki-laki.

Dalam waktu yang sangat panjang makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan ini dipandang oleh banyak peradaban manusia sebagai sosok yang yang hadir untuk dinikmati secara seksual, berfungsi melahirkan sekaligus juga direndahkan. Aristoteles mengkonseptualisasikan perempuan bukan hanya berkedudukan subordinat, melainkan juga secara bawaan dan biologis bersifat inferior dalam kapasitas mental maupun fisik. Semuanya bersifat alami.[1] Dalam peradaban Arabia pra Islam perempuan adalah mata (benda) yang bisa diwariskan atau digadaikan dan mut’ah” (kesenangan) yang bisa diperebutkan laki-laki. Lebih dari itu perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan. Karena itu ia seringkali dianggap wajar untuk dikutuk seperti setan dan pantas untuk dibunuh bahkan hidup-hidup.

Realitas kebudayaan seperti ini diungkapkan oleh sejumlah ayat dalam Al- Qur-an.Q.S. Al-Nahl, 58,).

Artinya:”Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah”.

QS. Al-Takwir : 9


Artinya: ”Karena dosa Apakah Dia dibunuh,”

Wahb bin Munabbih, seorang ahli tafsir bibel terkemuka, beragama Yahudi kemudian masuk Islam, seperti dikutip ahli Tafsir klasik terkemuka, Ibnu Jarir al Thabari, ketika mengomentari kejatuhan Adam dari surga, mengatakan : Tuhan bertanya kepada Adam : mengapa kamu menentang perintah-Ku?”. Adam menjawab : Gara-gara Hawa. Tuhan kemudian mengatakan : Jika begitu, Aku akan jadikan dia (Hawa) berdarah-darah setiap bulan, Aku jadikan dia bodoh dan Aku jadikan dia menderita ketika melahirkan. Padahal sebelumnya dia Aku jadikan bersih cerdas dan melahirkan dengan menyenangkan”. Salah seorang periwayat kisah ini mengomentari : Andaikata tidak karena Hawa, niscaya perempuan di seluruh muka bumi tidak akan pernah haid, cerdas-cerdas dan melahirkan tanpa susah payah”. (Al thabari, Jami’ al Bayan ‘an Takwil Ay al Qur-an, I/237).

Pernyataan al Qur-an maupun perspektif Ibnu Munabbih di atas dengan jelas memperlihatkan betapa pandangan peradaban Arabia pra Islam dan wacana tafsir keagamaan telah menyudutkan dan merendahkan perempuan sedemikian jauhnya.

Meskipun pandangan Ibnu Munabbih sulit dipahami oleh logika sehat dan sangat berbau mitologis, tetapi ia memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap status perempuan di kemudian hari. Penghargaan sedikit lebih baik terhadap kaum perempuan dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali melalui izin suami atau keluarga dekatnya atau dengan pengawasan yang sangat ketat.

Dan di rumah itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan seks laki-laki (suami) dan melahirkan anak. Perempuan (istri) harus senantiasa siap menerima kebutuhan laki-laki itu kapan saja dan di mana saja, di dapur atau di atas punggung unta.

B. Islam dan Hak-hak Perempuan

Islam sebagai agama seperti juga agama-agama yang lain adalah otoritas yang selalu berfungsi menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tirani-tirani manusia yang lain. Al Qur-an menyebutkan fungsi ini sebagai yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur” (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya). Islam hadir dalam peradaban patriarkhis yang menindas perempuan.

Nabi Muhammad menyampaikan statement Tuhan tentang penghapusan diskriminasi manusia di satu sisi dan membangkitkan kesadaran baru tentang martabat manusia di sisi yang lain. Laki-laki dan perempuan menurut teks suci Tuhan lahir dari entitas yang sama dan karena itu berkedudukan sejajar dan sama di hadapan Tuhan. Q.S. al Nisa: 1.


Artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Ini adalah merupakan konsekwensi logis dari teologi monoteistik yang dibawa Islam. Beberapa ayat al Qur-an yang turun menyebutkan nama perempuan bersama nama laki-laki.

Mereka memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa diintervensi laki-laki. Ini, kata Umar bin Khattab adalah paradigma baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.(Al Bukhari, al Shahih,V/2197). Bahkan beberapa surah diberi nama al Nisa” yang berarti perempuan, atau nama seorang perempuan, seperti Maryam atau yang berkaitan dengan persoalan hak reproduksi perempuan seperti al Thalaq.

Pandangan kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan dalam al Qur-an meliputi aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas dan seksualitas serta segala aktifitas kehidupan praktis yang lain. Tentang hubungan seksualitas, al Qur-an menyatakan : dan mereka (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban mereka”.(Q.S. al Baqarah, 228).

Artinya:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi terkemuka, mengomentari ayat ini dengan mengatakan : Aku suka berdandan untuk isteriku seperti aku suka dia berdandan untukku”.(Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al Azhim, I/271). Ayat lain juga menyebutkan : mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.(Q.S. Al Baqarah, 187).

Artinya:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Ayat ini dikemukakan dalam konteks relasi seksual suami isteri. Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, al Hasan, Qatadah, al Siddi, Muqatil bin Hayyan menyatakan bahwa ayat ini berarti bahwa mereka tempat ketenangan bagi kamu (laki-laki) dan kamu tempat ketenangan bagi mereka (perempuan). Ibnu Katsir atas dasar ayat ini menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk menikmati kehidupan seksualnya. (Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, I/220).

C. Pandangan mainstream konservatif

Pandangan egalitarianisme Islam di atas adalah satu dari sekian prinsip Islam yang diharapkan menjadi landasan bagi system dan pranata-pranata social yang harus dibangun oleh masyarakat Islam untuk sebuah kehidupan yang adil. Sesudah nabi wafat dan beberapa waktu sesudah itu, pandangan demikian mengalami proses perjalanan yang tidak mulus bahkan ada kecenderungan stagnan atau bahkan mundur ke belakang. Dalam banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, terdapat pandangan kaum muslimin yang belum memberikan respons transformatif-progresif.

Mayoritas penafsir al Qur-an dan sunnah nabi seperti yang banyak kita baca dalam literatur klasik Islam memperlihatkan kecenderungan memposisikan perempuan secara subordinat. Hampir semua penafsir klasik berpendirian bahwa perempuan secara alami adalah makhluk inferior, sementara laki-laki superior. Pendirian mereka dibangun atas dasar argumen teks otoritatif, seperti ayat 34 surah al Nisa.

Pandangan ini pada akhirnya membawa implikasi-implikasi serius pada persoalan hak-hak reproduksi perempuan. Sejumlah masalah reproduksi perempuan dalam banyak literature Islam klasik, dikemukakan dengan tetap memposisikan perempuan sebagai makhluk biologis untuk kenikmatan laki-laki.

D. Macam- macam Hak-Hak Reproduksi Perempuan

1. Khitan perempuan

Khitan perempuan adalah masalah dini dari persoalan reproduksi perempuan. Mengenai khitan Al Qur-an sendiri tidak menyebutkannya secara eksplisit baik untuk khitan laki-laki maupun perempuan. Kitab suci ini hanya menyebut hendaklah kamu mengikuti tradisi nabi Ibrahim”. Para ahli tafsir kemudian menyebut khitan sebagai salah satu tradisi Ibrahim. Pandangan mainstream kaum muslimin menunjukkan bahwa khitan perempuan adalah perlu. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan khitan perempuan adalah kemuliaan atau penghormatan.

Sementara mazhab Syafi’I yang menjadi basis keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia, menyatakan khitan prempuan adalah wajib seperti laki-laki. Khitan adalah kewajiban, ibadah dan syiar agama. (Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu,III/642). Pendirian tersebut didasarkan atas hadits nabi : potonglah ujungnya dan jangan berlebihan karena itu akan membuat wajah dia (perempuan) berseri-seri dan menyenangkan laki-laki”. (Abu Daud, al Sunan, IV/ 368).

Secara kwalitatif hadits yang menjadi dasar perlunya khitan perempuan menurut sejumlah ulama, seperti Abu Daud, Ibnu Munzir, al Syaukani dan Sayid Sabiq adalah lemah. Dengan kritik sangat tajam Sayid Sabiq mengatakan : Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang sahih (valid).(Fiqh al Sunnah, I/26). Secara logika pemotongan bagian tubuh perempuan yang paling sensitive ini (klitoris) sulit dimengerti, apa guna (maslahat) nya ?. Ini tentu berbeda dengan khitan laki-laki. Pemotongan klitoris boleh jadi justeru menghilangkan kenikmatan seksual perempuan.

Kalau demikian, pernyataan nabi di atas seharusnya dapat diinterpretasikan sebagai respon nabi atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu itu sambil berusaha melakukan reduksi atasnya secara persuasive dan bertahap. Soalanya penghapusan budaya secara serta merta akan menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Dengan begitu pernyataan itu juga dapat mengarah pada upaya penghapusannya terutama ketika praktek khitan perempuan tersebut menurut pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberikan manfaat apalagi menyakiti atau merusak anggota tubuh.

2. Hak menentukan perkawinan

Perempuan dalam banyak tradisi seringkali dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa dia akan kawin. Seluruh kepentingan perempuan gadis ditentukan oleh orang tuanya dan dia harus patuh menjalaninya tanpa bisa menolaknya. Penolakan terhadap kehendak orang tua seringkali akan dicap sebagai anak yang tidak berbakti. Pada daerah tertentu, sampai hari ini masih berkembang anggapan bahwa orang tua yang dalam waktu dini bisa mengawinkan anak gadisnya akan dipandang berhasil. Mengawinkan anak gadis dalam usia dini seringkali merupakan kebanggaan keluarga. Ada sejumlah alasan mengapa ini dilakukan. Ini antara lain adalah kekhawatiran tidak laku atau menjadi perawan tua. Alasan lain yang paling umum dikemukakan adalah bersifat ekonomis. Ini pada umumnya terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah di pedesaan.

Tetapi tradisi mengawinkan anak gadis belum dewasa seringkali juga mengambil dasar keagamaan. Pertama hadits nabi yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah segera mengawinkannya jika dia sudah baligh. Jika tidak segera dikawinkan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah”. Baligh dalam batasan fiqh ditentukan berdasarkan haidnya atau usia maksimal 15 tahun. Meskipun UU Perkawinan Indonesia telah menetapkan batas usia minimal perkawinan perempuan (16 tahun), namun perkawinan di bawah usia dewasa tersebut masih menjadi fenomena yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Jika kita membaca literatur fiqh secara lebih cermat, maka akan ditemukan satu benang merah. Yaitu bahwa perkawinanan di bawah usia bukanlah sesuatu yang baik (mustahab). Imam Syafi’i pernah menyatakan : Sebaiknya ayah tidak mengawinkan anak gadisnya sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya (kerelaannya) karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawab”.(Najib Muthi’i, Takmilah al Majmu’, XV/58). Dalam analisis kesehatan reproduksi, perkawinan dini dapat menimbulkan kondisi yang rawan. Hal ini bukan hanya terkait dengan kondisi alat-alat reproduksinya yang belum kuat, tetapi juga berhubungan dengan tingkat kematangan mental dan emosinya. Padahal perkawinan dimaksudkan untuk membangun kehidupan rumahtangga yang didasarkan hubungan saling mencintai, saling memberi dan saling menguatkan demi kemaslahatan bersama. Untuk ini dibutuhkan kesiapan mental dan intelektual yang matang untuk dapat menentukan kehidupannya.

Kedua, ketentuan hukum agama (fiqh) yang menyatakan bahwa ayah berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa izin eksplisit yang bersangkutan. Ayah adalah pemilik hak ijbar yang diterjemahkan sebagai hak memaksa anak gadis untuk dikawinkan dengan laki-laki yang boleh jadi tidak dikehendakinya.

Pemaknaan hak ijbar sebagai hak memaksakan kehendak tanpa persetujuan yang bersangkutan adalah tidak tepat. Perkawinan yang dihasilkan dengan cara pemaksaan sama dengan sebuah transaksi yang tidak didasarkan atas kerelaan (taradhin). Siti Aisyah pernah menceritakan tentang seorang perempuan muda yang dipaksa kawin oleh ayahnya dengan orang yang tidak dia sukai. Dia mengadukan masalahnya kepada Nabi saw. Mendengar pengaduan perempuan itu beliau kemudian memanggil ayahnya dan memintanya agar menyerahkan urusan itu kepada anak perempuannya itu. (Ibnu al Atsir, Jami’ al Ushul, XII/140). Ini menunjukkan dengan jelas bahwa hak menentukan pasangan hidup atau jodoh berada di tangan perempuan sendiri. Apa yang dapat kita ambil dari sikap nabi saw tersebut adalah bahwa kemandirian perempuan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena di dalamnya terkandung aspek tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksinya sendiri.

3. Hak penikmatan seksual.

Sebagai makhluk biologis, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang sama dalam hal menikmati kehidupan seksual (coitus). Kebutuhan akan seks adalah fitrah makhluk apa saja, termasuk manusia. Dalam Islam kebutuhan seks manusia itu harus disalurkan melalui ikatan perkawinan yang oleh al Qur-an disebut sebagai mitsaq ghalizha”, perjanjian yang kuat Tetapi dalam banyak literature fiqh Islam, hak penikmatan seksual tampak hanya menjadi milik laki-laki. Hak-hak seksual perempuan direduksi, jika tidak boleh disebut dinafikan. Pendapat terkuat dari mazhab al Syafi’i, misalnya, berpendirian bahwa kewajiban laki-laki (suami) melayani kebutuhan seksual perempuan hanya sekali seumur hidup perkawinan mereka. Ini juga hanya karena tuntutan moral belaka. (Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Mazahib al Arba’ah, IV/3). Selebihnya adalah tergantung pada laki-laki (suami) untuk memenuhinya atau tidak. Dengan arti lain, laki-laki (suami) berhak atas kenikmatan seksnya kapan saja, dan perempuan (isteri) wajib memenuhinya. Pandangan lebih baik dikemukakan oleh mazhab Maliki, meskipun masih tetap bias. Ia mengatakan bahwa suami wajib melayani kebutuhan seksual isteri hanya jika penolakannya akan menimbulkan penderitaannya.

Perspektif ahli fiqh di atas agaknya merupakan konsekwensi dari rumusan nikah yang dibuatnya. Mayoritas besar para ahli fiqh menyepakati rumusan perkawinan atau pernikahan sebagai akad yang memberikan hak kepada laki-laki untuk penikmatan tubuh perempuan. Rumusan ini di samping memperlihatkan perspektif laki-laki, juga melihat perempuan sebatas sebagai sosok tubuh dan organ-organ reproduksi yang menarik dan patut dinikmati, bukan sebagai tubuh yang utuh dengan segenap kehendak dan hasrat kemanusiaannya.

Pada sisi lain pandangan ahli fiqh di atas tampaknya berpijak pada argumen hadits nabi yang dibaca harfiyah dan diinterpretasikan secara bias. Nabi saw menyatakan bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai pagi. (baca : Al Bukhari, al Shahih, V/1992). Wacana keagamaan ini tampaknya telah berkembang menjadi kebudayaan yang masih berlangsung sampai hari ini.

Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa menolaknya sesungguhnya dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-hak reproduksinya. Bukan hanya dia sangat mungkin tidak mendapatkan kenikmatan seksual, tetapi juga boleh jadi merupakan tekanan yang berat secara psikologis. Lebih jauh ketidak berdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.

Pandangan ini sungguh sulit dapat dimengerti ketika dihubungkan dengan prinsip kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan pesan al Qur-an tentang perlunya membangun relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah) antara suami dan isteri dalam membina rumahtangganya untuk sebuah generasi yang sehat. Al Qur-an dan hadits nabi juga selalu menekankan pentingnya relasi yang dibangun atas dasar mu’asyarah bi al ma’ruf”. Ini tentu saja membutuhkan relasi yang saling memahami, menghargai dan menjaga kesehatan reproduksinya masing-masing. Karena itu adalah mungkin diinterpretasikan bahwa apa yang dikemukakan hadits tersebut berlaku terhadap perempuan (isteri) yang berada dalam kondisi aman dan tidak dalam tekanan-tekanan psikologis. (Untuk interpretasi ini lihat dalam : Ibnu Hajar al Asqallani, Fath al Bari, IX/294, Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuh, IX/6851).

Prinsip kesejajaran laki-laki dan perempuan, dan mu’asyarah bi al ma’ruf” di atas sesungguhnya akan membawa konsekwensi logis pada dua hal. Yaitu hak perempuan untuk memperoleh kenikmatan kehidupan seksualnya dari laki-laki (suami) di satu sisi dan hak perempuan untuk menolak hubungan seksual karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan di sisi yang lain. Aspek lain yang terkait dengan ini adalah haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi termasuk biaya yang diperlukan bagi kesehatannya.

4. Hak menentukan kehamilan

Paradigma ini lebih lanjut dapat menjadi dasar bagi hak perempuan menolak untuk hamil karena pertimbangan kesehatan reproduksinya. Adalah sangat simpatik bahwa al Qur-an menekankan perlunya masyarakat memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal kehamilan perempuan. Kehamilan, kata al Qur-an, merupakan proses reproduksi yang sangat berat : wahnan ‘ala wahnin” (kelemahan yang berganda) (Q.S. Luqman, 14) dan kurhan” (sesuatu yang sangat berat).(Q.S. al Ahqaf, 15). Al Qur-an melalui kedua ayat di atas berwasiat agar manusia berbuat baik kepada orang tua mereka. Kondisi sangat lemah dan sangat berat tersebut mencapai puncaknya pada saat melahirkan. Terdapat banyak fakta social dan data penelitian tentang kematian ibu yang diakibatkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan dan proses melahirkan.

Oleh karena itu adalah sangat masuk akal bahkan seharusnya jika kehendak untuk hamil atau tidak, mempunyai anak atau tidak, perlu mempertimbangkan suara perempuan lebih dari suara laki-laki. Perempuan adalah pemilik utama rahim, tempat cikal bakal manusia dikandung. Dalam masa Islam klasik persoalan kehendak untuk tidak hamil dibahas dalam bab Azl atau coitus interuptus. Meskipun ada pandangan yang mengharamkan azl, karena dianggap sebagai pembunuhan tersamar”, tetapi mayoritas ulama berdasarkan teks hadits yang lain membolehkannya. Al Ghazali bahkan bukan hanya membolehkan azl atas dasar pertimbangan kesehatan reproduksi melainkan juga atas dasar keinginan perempuan sendiri untuk menjadi tetap cantik, awet muda, khawatir risiko keguguran dan khawatir repot banyak anak. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/52).

Pada saat ini proses menunda kehamilan atau mengaturnya dapat dilakukan melalui teknis, metode dan alat kontrasepsi yang beragam dan lebih canggih. Mayoritas pandangan ulama dewasa ini telah memberikan lampu hijau bagi masyarakat muslim untuk menggunakan metode-metode dan alat-alat kontrasepsi apapun sepanjang tidak dimaksudkan untuk membatasi berlangsungnya proses reproduksi manusia. Agak disayangkan memang bahwa alat-alat kontrasepsi yang ada sampai saat ini masih lebih banyak diperuntukkan bagi perempuan dan jarang bagi laki-laki. Penyebutan alat-alat kontrasepsi diasosiasikan masyarakat sebagai alat-alat untuk perempuan.

5. Hak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi

Akan tetapi memberikan hak kepada perempuan untuk menentukan atau memutuskan kehamilannya tidaklah cukup dapat menjamin terwujudnya kondisi reproduksi perempuan yang sehat. Indikasinya adalah seringnya muncul keluhan perempuan yang ber KB. Hal ini bisa terjadi ketika mereka tidak diberikan hak untuk mendapatkan informasi mengenai system dan alat-alat kontrasepsi yang membuatnya tetap sehat. Di sinilah, maka perempuan juga berhak mendapatkan pengetahuan yang baik mengenainya. Pihak-pihak lain yang memahami alat-alat kontrasepsi, terutama pemerintah, berkewajiban menyampaikan secara jujur mengenainya, bukan atas dasar kepentingan demografis tetapi benar-benar karena alasan kesehatan reproduksi perempuan. Ini berarti juga bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani pemasangan alat kontrasepsi berkewajiban memberikan jenis alat kontrasepsi yang sesuai atau cocok untuk kepentingan tersebut.

Adalah sangat menarik bahwa ketika al Qur-an mengemukakan asal kejadian manusia dan perkembangbiakannya ia kemudian menekankan kepada manusia agar benar-benar saling memberikan informasi tentang perlunya menjaga rahim. Al Qur-an menyatakan : Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (saling memberi informasi, pen.) dan saling menjaga rahim-rahim”. (Q.S. al Nisa, 1). Para ahli tafsir memang memberikan tafsiran ayat ini tentang perlunya menjaga hubungan silaturrahim melalui pemenuhan hak dan kewajiban kemanusiaan. Akan tetapi adalah mungkin bahwa ia juga dimaksudkan agar manusia juga saling menjaga rahim, tempat di mana cikalbakal manusia dikandung dan kemudian dilahirkan.

6. Hak menentukan kelahiran

Penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan tidak dengan sertamerta menjamin kehamilan itu sendiri. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi, misalnya, mungkin saja terjadi dan dalam banyak fakta kemungkinan ini seringkali terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki dengan begitu sangat bisa terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki mungkin juga bukan hanya karena factor kegagalan kontrasepsi melainkan juga karena faktor lain yang bisa mengganggu kesehatan reproduksi perempuan. Dalam keadaan demikian dapatkan perempuan menggugurkan kandungannya (aborsi)?.

Pada prinsipnya, Islam mengharamkan segala bentuk perusakan, pelukaan dan lebih jauh pembunuhan manusia. Ini dikemukakan dalam banyak ayat al Qur-an maupun pernyataan nabi saw. Al Qur-an menyatakan: jangan kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan”. Dalam sebuah hadits nabi pernah menyatakan: la dharar wa la dhirar” (tidak ada hak orang untuk membuat tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain). Ia hanya bisa dilakukan atas dasar hukum yang benar demi keadilan manusia.

Meski demikian ada banyak kasus dimana manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak dikehendaki. Tidak sedikit kasus di mana seorang perempuan yang hamil dihadapkan pada persoalan penyakit yang dapat membawa risiko kematian jika kehamilannya diteruskan. Misalnya penyakit jantung kronis, paru-paru atau kanker yang parah dan lain-lain. Seorang perempuan juga bisa menghadapi problem kehidupan yang sangat pahit, misalnya stress berat akibat perkosaan atau incest. Pada kasus-kasus seperti ini dia menghadapi pilihan yang dilematis. Menggugurkan kandungan dapat berarti membunuh jiwa manusia yang sudah hidup. Tetapi membiarkan jiwa tersebut tetap hidup di dalam perut ibunya kemudian dilahirkan, bisa jadi dapat mengakibatkan kematian sang ibu atau membawa trauma psikologis yang sangat berat. Realitas Indonesia menunjukkan bahwa kematian ibu negara ini akibat melahirkan tergolong paling besar. Lebih dari 400 orang setiap 100 ribu meninggal dunia. Tradisi fiqh selalu menyediakan sejumlah alternatif jawaban, karena ia adalah produk pemikiran orang dalam sejarah. Kesepakatan para ahli fiqh dalam kasus ini terjadi ketika janin sudah berusia di atas 120 hari. Pengguguran kandungan pada usia ini diharamkan. Pada usia ini menurut mereka, janin sudah merupakan wujud manusia berikut segala kelengkapannya. Untuk aborsi sebelum usia 120 hari para ahli Islam mempunyai pandangan yang beragam. Pluralitas pandangan tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menganalisis teks al Qur-an dalam surah al Mukminun, 12-14 dan hadits nabi yang menegaskan persoalan ini. Ayat ini menyebutkan fase-fase pertumbuhan dan pembentukan manusia dalam kandungan. Yaitu fase nutfah, ‘alaqah dan mudghah. Pendirian paling ketat dikemukakan oleh al Ghazali dari mazhab Syafi’I, mayoritas mazhab Maliki dan Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri (leteralis). Mereka menyatakan aborsi diharamkan sejak fase pembuahan. Sementara mayoritas mazhab Syafi’I, sebagaimana diungkapkan al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj, mengharamkan aborsi sesudah fase nutfah. Pendirian paling longgar dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Al Hashkafi mengatakan bahwa aborsi dapat dilakukan pada janin dibawah usia 120 hari. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/51, Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, II/348, Ibnu Hazm, Al Muhalla, XI/35-40. Baca pula : Jad al Haq Ali Jad al Haq, Ahkam al Syari’ah al Islamiyah fi Masail al Thibbiyyah, hlm. 139).

Sepanjang yang dapat ditelusuri dalam literature fiqh klasik yang sampai hari ini masih menjadi sumber otoritatif kaum muslimin sesudah al Qur-an dan hadits dapat disimpulkan bahwa aborsi (bahasa fiqh :Isqasth al Haml atau Ijhadh), sepakat dibolehkan hanya ketika membiarkan janin tetap hidup sampai melahirkannya dapat mengancam nyawa ibu. Kepastian bahaya kematian ini didasarkan atas keterangan medis terpercaya. Pandangan ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah kematian ibu. Ia harus lebih diprioritaskan atau dipertimbangkan dibandingkan dengan kematian janin. Dalam wacana fiqh kematian janin memiliki risiko lebih ringan dibanding risiko kematian ibu. Ibu adalah asal sekaligus sumber kehidupan bagi yang lain. Esksistensinya telah benar-benar nyata. Ibu juga memiliki sejumlah kewajiban terhadap orang lain. Keadaan ini berbeda dengan janin. Meskipun dapat dinyatakan telah eksis karena telah hidup di dalam perut (rahim), akan tetapi ia tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap orang lain. Untuk mendukung pandangan ini para ahli fiqh mengemukakan sebuah kaedah hukum : Jika kita dihadapkan pada sebuah dilemma yang membahayakan, maka korbankan hal yang paling kecil risikonya dengan menyelamatkan hal yang memiliki risiko lebih besar/berat”.: Idza ta’aradhat al mafsadatani ruu’iya a’zhamuhuma dhararan”, atau al Akhdz bi Akhaff al dhararain”. (Al Suyuthi, Al Asybah wa al Nazhair, hlm. 62).

Dari keterangan di atas tampaknya kita sekali lagi perlu memahami bahwa persoalan aborsi sesungguhnya sekali lagi bukan terletak pada soal hukum boleh atau tidak boleh dan bukan pula karena suatu alasan tertentu, melainkan berkaitan dengan hal lain yang lebih prinsipil, yaitu soal kematian perempuan (ibu).

Pemikiran ini harus menjadi dasar bagi pertimbangan keputusan hukum untuk dilakukannya tindakan aborsi atau tidak. Pada sisi lain, meskipun undang-undang telah melarang tindakan aborsi akan tetapi ia bisa saja dilakukan orang dengan segenap cara dan berbagai jalan. Dan ini seringkali membahayakan bagi keselamatan hidupnya. Saya kira kita perlu memikirkan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menimbulkan kemungkinan kematian perempuan lebih banyak . (Husein Muhammad).



[1] Laela Ahmed. Wanita dan Gender dalam Islam. hlm.29

APAPUN................


Adakah sesuatu yang disebut kesopanan alamiah?

Orang yang paling bijaksana adalah yang mengetahui bahwa dia tidak tahu…

Pengetahuan yang sejati berasal dari dalam

Barang siapa mengetahui yang benar akan bertindak benar. -Socrates-

Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang beragam itu, masing-masing pemudik disemangati oleh etos bermusabaqah dalam kebajikan. Rahmat Tuhan yang tak terbataslah yang nantinya akan menentukan mana yang terbaik di antara para pemudik itu, tanpa memandang perbedaan agama dan golongannya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (28/9) lalu, dengan Jalaluddin Rakhmat, intelektual Islam-Syiah yang meluncurkan buku Islam dan Pluralisme, pertengahan September lalu.

Berbicara tentang kebenaran, semua orang pasti merasa dirinyalah yang paling benar. Karena penyebab yang paling mendasar pada setiap permasalahan dimuka bumi ini adalah karena setiap orang merasa benar. Sedang filosof menyatakan bahwa didunia ini tak ada salah dan benar karena yang ada hanyalah alasan. Seperti hampir benar ungkapan tersebut, namun tentu saja sebagai umat Islam kita mempunyai rujukan dimana kebenaran itu berasal. Kebenaran tentunya hanya berasal dari Dzat yang Maha Penggenggam Segalanya ALLAH Azza Wajalla.

Kemudian siapa yang akan memutuskan hakikat benar itu sendiri pada sesama manusia? Apakah institusi Negara atau Institusi Islam mempunyai kewenangan dalam memutuskan siapa yang dicap benar dan siapa yang salah? Ataukah masyarakat banyak yang punya otoritas dalam menentukan kebenaran.

Kehadiran beberapa golongan baru ditubuh umat Islam pada waktu-waktu sekarang seolah mewarnai makna kebenaran dalam tubuh umat Islam sendiri yang mulai kabur. Kabur oleh kepentingan, kabur oleh egoisme sesaat, kabur oleh kesombongan akan kesempurnaan diri, dan kabur oleh kebenaran yang sesungguhnya dianugerahkan Tuhan.

Jarak antara kepercayaan diri dengan kesombongan cukup sempit. Dimana kadang kala kepercayaan diri yang berlebihan akan mengantarkan kita pada pintu kesombongan dan gerbang kebodohan.

Kehadiran Ahmadiyah sebenarnya bukan hal baru lagi di Indonesia, karena kehadiran golongan ini sesungguhnya sudah cukup lama, sampai-sampai umat Islam sendiri kaget dengan besarnya minat masyarakat yang kini telah menjadi pengikut Ahmadiyah. Namun yang ingin penulis soroti disini bukanlah fase-fase perkembangan jemaah Ahmadiyah, tetapi respon masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia dan peran institusi dalam menghadapi realitas yang tengah terjadi.

Seperti telah diketahui bahwa kebanyakan dari masyarakat di Indonesia menganut agama Islam disebabkan oleh garis keturunan orang tua yang juga seorang muslim. Sehingga hal ini menyebabkan metode pengajaran yang diterima sebagian besar masyarakat bersifat searah, yaitu berdasarkan tradisi turun temurun. Sehingga apabila suatu saat terjadi sesuatu yang lain, yang aneh dan berbeda hadir ditengah-tengah kehidupan, masyarakat biasanya menganggap hal tersebut diluar kebiasaan dan tidak diajarkan para leluhur atau orang tua mereka dan menjadi tabu untuk dilakukan dan dilaksanakan. Lebih dimantapkan lagi larangan ini dengan mengaitkannya melalui hal yang sifatnya tidak masuk akal.

Pemikiran yang seperti ini, biasanya dialami oleh masyarakat yang memiliki kultur tradisional dan konservatif dengan membesar-besarkan perbedaan.

Saat golongan Ahmadiyah dinyatakan sesat oleh MUI, respon masyarakat serentak menyetujui keputusan yang dibuat MUI tersebut. Tak hanya Ahmadiyah saja, Wahidiyah pun kemudian diputuskan sebagai salah satu aliran yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-sunah. Respon penolakan masyarakat Islam semakin menjadi-jadi dengan provokasi beberapa ormas Islam untuk memboikot jemaah Ahmadiyah. Dan hal yang paling menyedihkan adalah kekerasan-kekerasan yang dilakukan yang katanya masyarakat Islam, seperti menyeret para jemaah Ahmadiyah, menghancurkan mesjid-mesjid Ahmadiyah, bahkan melakukan serangan-serangan dengan pernyataan perang terhadap jemaah Ahmadiyah. Itukah cara Islam meluruskan saudaranya?

Melihat sudut sejarah aliran Ahmadiyah ini namanya diambil dari pendirinya Mirza Ghulam Ahmad. Dalam perkembangannya kemudian golongan ini terbagi kedalam dua aliran, yakni (a) Ahmadiyah Qadiyan yang berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Rasul akhir zaman yang mendapat wahyu dari Allah untuk menyempurnakan Islam dan (b) Ahmadiyah Lahore yang berpendirian bahwa Mirza itu hanyalah seorang mujadid (pembaharu), bukan seorang nabi dan Rasul. (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH & Hj. Habibah Daud, SH. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. 1995: 27).

Dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa umat Ahmadiyah di Indonesia pun berbeda pemahaman dalam memposisikan dirinya dalam ajaran tersebut. Seperti diketahui masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mudah tersulut isu-isu Sara untuk mengimbangi isu politik yang sedang gencar. Dalam hal ini bisa saja kehadiran Ahmadiyah ini dimunculkan untuk meredam anemo/minat masyarakat dalam menghadapi kenaikan BBM. Ditambah lagi dengan penetrasi media cetak maupun elektronik yang semakin menambah panjang persoalan Ahmadiyah vs BBM.

Yang menggelitik pemikiran penulis adalah, mengapa para jemaah Ahmadiyah begitu kuatnya dengan keyakinan mereka. Meski dengan serangan yang bertubi-tubi berupa kekarasan, penghancuran, bahkan penolakan masyarakat terhadap kehadirannya, aqidah yang dimilikinya bukan semakin menurun tapi justru semakin kuat. Apa ini yang terjadi? Sedangkan akhir-akhir ini kalangan umat Islam yang non Ahmadiyah, keyakinannya hanya ditukar dengan isi perut, bungkusan mie instant pun jadi. Bahkan kalangan yang mengerti tentang benar salahnya agama justru berlomba-lomba dengan mengumpulkan kekayaan hasil korupsi. Apakah mereka dianggap sesat, dikecam, digusur, didaulat untuk bertobat, dan dinyatakan keluar dari agama Islam? Mungkin sebagian besar masyarakat juga menyatakan respon yang agresif terhadap para koruptor tersebut, namun disisi yang lain ada sebagian masyarakat bahkan masyarakat Islam sendiri menganggap biasa perbuatan koruptor. Yang sungguh Ironis malah ditahun 2004 dinyatakan bahwa korupsi nomor 2 terbesar di Jawa Barat adalah Departemen Agama. Bahkan sekolah Almamater penulis yang juga berlatar keislaman ditahun yang sama dinyatakan nomor 3 dalam kasus korupsinya!

Lantas pertanyaanya sekarang adalah, apakah peran Institusi Islam dalam kehidupan bernegara hanya diwujudkan dengan sekedar mengeluarkan fatwa, membahas kericuhan, atau saling berebut kursi panas dikalangan para elit politik? Kemudian kontribusi apa yang diberikan kepada masyarakat dalam mewujudkan kerukunan dan suri tauladan yang baik. Yang bisa menjadi figur dalam menentukan kemana arah umat Islam kedepan dengan Gardanya yang terletak pada Institusi Islam itu sendiri.

Berbicara kembali pada peran Institusi Islam di Indonesia dalam hal ini Majelis Ulama, perannya dalam pemerintahan sepertinya terbatasi oleh ruang yang sengaja diciptakan oleh pihak yang berkepentingan. Majelis Ulama, komentar ataupun fatwanya ada apabila muncul isu-isu yang berkaitan dengan ajaran agama. Negeri kita memang bukan Negara teokrasi yang berpendapat bahwa agama dan Negara tidak dapat dipisahkan, namun secara tegas Negara kita pun tidak menyatakan sebagai Negara sekuler yang memisahkan Negara dan agama secara terang-terangan. Ini bisa saja merupakan implikasi dari sistem hukum campuran (pluralistis: hukum positif, hukum islam, hukum adat) yang dianut oleh Indonesia, sehingga pemerintah sendiri pun masih butuh waktu untuk memutuskan kemana arah hukum Negara ini akan dibawa.

Implikasi dari sistem hukum campuran yang dipakai oleh Indonesia dengan contoh kasus Ahmadiyah, saat MUI menyatakan aliran Ahmadiyah sesat sebagai bukti eksistensinya dalam menjaga kemurnian Islam di Indonesia. Sebagian masyarakat setuju dengan berbagai reaksi, dari mulai reaksi yang biasa-biasa saja hingga reaksi anarkis seperti yang diungkapkan sebelumnya. Disisi lain otoritas Majelis Ulama ditanggapi dingin oleh para aktivis Hak Asasi Manusia. Reaksi dingin ini muncul disebabkan oleh respon masyarakat muslim Indonesia yang drastis kehilangan kontrol emosi setelah mendapat fatwa ulama sehingga menjatuhkan korban. Aktivis HAM berpendapat bahwa apa yang dilakukan masyarakat untuk mengikuti dan menganut ajaran Ahmadiyah merupakan salah satu bentuk kebebasan dalam beragama. Dan hal itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku di Indonesia yaitu pasal 29 ayat (2). Disudut yang lain lagi sebagian besar umat Islam Indonesia bahkan dunia menganggap Ahmadiyah telah melakukan pelecehan agama Islam dengan menyatakan Mirza ghulam Ahmad sebagai nabi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang terjadi antara sesama umat beragama ini adalah miss komunikasi yang tidak dijalin sejak awal dengan itikad untuk menyelesaikan masalah saling menerima dan mendengarkan satu sama lain. Namun walaupun ada komunikasi yang dibangun sebelumnya, tidak lain dengan membawa masing-masing argument untuk menjatuhkan satu sama lain. Bahkan ketika Majelis Ulama memakai otoritasnya untuk memutuskan kebenaran dengan mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah sesat, tetap saja tidak cukup meredam masalah namun justru mendatangkan masalah-masalah baru.

Indonesia merupakan Negara yang multi agama, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara yang rawan terhadap disintegrasi bangsa. Sebenarnya yang sekarang dibutuhkan masyarakat adalah figur-figur yang bisa menjadi suri tauladan bagi masyarakat luas. Karena krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sekarang termasuk didalamnya adalah krisis keteladanan terutama ditubuh Institusi Islam lewat tokoh-tokohnya.

Dengan semakin luasnya persaingan serta derasnya informasi yang mencekoki masyarakat dengan segala kemudahannya, hendaknya komunikasi Insitusi Islam bisa lebih mendekatkan diri pada masyarakat lewat peran-peran keagamaanya. Dan Insitusi Islam sendiri tidak hanya muncul apabila terjadi persoalan bangsa yang melibatkan umat beragama. Diharapkan dengan tindakan Institusi Islam yang lebih memasyarakat, bisa mengobati kekecewaan rakyat terhadap para pemimpin Negara yang berada dikursi kekuasaan yang justru semakin tidak merakyat dan jauh dengan keadaan masyarakat.

Harapan tinggalah harapan, dan wacana seyogianya bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sebagai manusia memang selalu diliputi berbagai persoalan, gudangnya kesalahan, dan makhluk yang paling bisa mengelak dan berusaha mencari pembenaran dalam setiap tindakannya. Kesempurnaan memang tidak akan pernah dimiliki makhluk yang serba kurang ini, namun ini tidak menjadi alasan manusia untuk selalu menghindar dari apa yang telah dititahkan Tuhan dalam setiap Firmannya yaitu Beribadah.

Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Apapun yang terjadi didunia ini sekarang baik itu ditubuh Institusi maupun jasad kita sendiri adalah merupakan proses kehidupan menuju kepada pendewasaan diri dalam mematangkan setiap keputusannya sebagai pengemban Amanah dimuka bumi (Khalifatu Fil Alrdi). Sebagai manusia biasa hendaknya kita tidak mendahulukan eksistensi ketimbang esensi dengan kata lain mendahulukan wujud daripada hakikat perannya sebagai manusia.

Senin, 22 September 2008

Persahabatan Itu......


Aku tak tahu cara mencintai yang baik itu seperti apa? tapi setidaknya aku mau belajar untuk mencintai orang lain dengan sepenuh hati dan perasaanku.
aku tak tahu sahabat yang terbaik itu seperti apa? namun aku mau belajar menjadi seorang sahabat yang baik. sungguh sangat menyayangkan bila dalam separuh perjalankan hidupku aku habiskan sendiri tanpa seorang sahabat.
sahabat itu bisa datang dari dunia yang berbeda dan juga pemikiran yang berbeda, bahkan dari cara memandang dari dimensi yang berbeda. karena perbedaan bukan untuk membuat kita merasa tidak cocok atau menjadikannya patokan untuk tidak pernah bisa bersatu.
tapi perbedaan adalah warna warni kehidupan yang bisa memberi warna menarik....

aku mungkin tak memiliki kisah cinta yang membekas dalam memoriku, tapi meski begitu aku masih memiliki sejuta kisah persahabatan yang bisa lebih memberiku banyak pelajaran berharga untuk menuju pendewasaan.
karena perahabatan itu tak terdefinisi buatku,,,,tapi persahabatan itu seperti halnya cinta bahkan lebih agung dan berharga dari cinta.
Rasulullah saja bisa kita kenal sekarang lewat sahabat-sahabatnya yang senantiasa memberinya semangat dan keyakinan, membelanya saat yang lain mencemoohnya.
Allah memberi kita kemampuan untuk berinteraksi dengan yang lain bukan untuk menyulut konflik dan menambah permasalahan hidup kita. Tapi Allah memerintahkan kita untuk senantiasa menjalin silaturahmi dan taaruf dengan cara yang ma"ruf. Karena dengan menjalin silaturahmi maka pintu kehidupan kita akan menjadi banyak jalan, terbuka lebar dan kemana pun kita pergi tidak akan pernah merasa sendiri...
untuk itu....aku berani bertaruh,,,,
bahwa persahabatan itu senantiasa ada walaupun cinta sejati sudah tidak ada
persahabatan itu lebih berharga dibanding harta simpanan yang tidak pernah dipergunakan untuk amal.
sahabat,,,,,itu adalah,,,,,aku, kamu.....dan kita semua....

Sabtu, 20 September 2008

WOMAN STUDIES CENTRE


PEREMPUAN…

Pernahkah kalian berjalan diiringi tatapan tak menyenangkan, bahkan siulan dan kata-kata yang membuat kalian risih?

Pernahakah kalian dilarang menjadi ketua karena dalam organisasi itu masih ada laki-laki, padahal kalian jauh lebih cerdas, mampu dan siap?

Pernahkah kalian mendapat perlakuan kasar dalam keluarga?

Pernahkah kalian diupah lebih rendah?

Pernahkah kalian diperlakuakan tidaka senonoh, karena dianggap penggoda dan pemantik hasrat?

Pernahkah kalian dikatai lemah,emosional, irrasional?

Pernahkah kalian dilarang sekolah dan dipaksa cepat-cepat menikah?

Pernahkah kalian diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tak peduli dalam keadaan apapun, sedangkan saudara laki-laki kalian/ ayah kalian bersantai dan memanjakan diri mereka sendiri?

Pernahkah kalian dilarang berorganisasi, dilarang mendapat pengetahuan yang lebih banyak, dilarang bekerja diluar rumah?

Pernahkah kalian dilarang keluar malam?

Pernahkah malam diluar rumah/kostan membuatmu merasa taka man dan tak nyaman, seolah hal buruk mengintai tiap waktu?

Pernahkah kalian menuntut hak, lalu diminta member imbalan materiil dan immaterial?

PEREMPUAN…

Pernahkah kalian marah ketika itu terjadi?

Pernahkah kalian berfikir itu tak pantas dialami?

LAKI-LAKI,,,,

Pernahkah kalian disebut cengeng karena menangis?

Pernahkah kalian disebut banci karena menolak berkelahi?

Pernahkah kalian disebut tidak punya harga diri karena mau menurut pada perempuan?

Pernahkah kalian dilarang mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena katanya itu bukan pekerjaan kalian?

Pernahkah kalian dianggap lembek karena bersikap lemah lembut?

Pernahkah kalian dianggap terlalu centil karena memperhatikan penampilan?

Jika pernah maka kalian tak berbeda dengan kami,,,

Maka kalian dan kami menjadi kita.

Kita yang marah dan ingin mencatat sejarah,,

Kita yang ditindas dan melawan ketidak adilan dalam komunitas…!

Mari saatnya, kita eratkan persaudaraan yang dilandasi kesetaraan,,

Demi kemanusiaan, demi sempurnanya ketakwaan.

Powered By Blogger

playboy

playboy

buricak burinong

buricak burinong
kukupu lucu meureun....

Mengenai Saya

Foto saya
Saya... perempuan yang baik hati, supel, tapi kadang nyebelin... seorang mahasiswi hukum. yang mengalami kecelakaan sejarah karena salah masuk jurusan.... tapi... karena kecelakaan sejarah itu aku tahu banyak hal yang sebelumnya tak pernah terbersit difikiranku.. berminat jadi teman??? kirim email aza langsung

apa pendapatmu tentang hidup???

full house

full house
ji eun sama hyong jay butuh waktu buat memahami arti dari yang sudah terjadi. intinya.....ya..gitu lah!!!!!

NU pisan

NU pisan
tanyakan pada dunia kenapa harus ada Nahdlatul Ulama

Hadrotus Syaikh

Hadrotus Syaikh
Hasyim Asy'ari

IPPNU

IPPNU
saudara organisasiku

terserah

terserah
aku dilahirkan,,,aku dibesarkan..aku dididik..bukan untuk menghancurkan dunia dan menjadi racun dunia. tapi aku datang untuk memahami ke-AKU-anku. aku datang hanya untuk singgah, ikut menorehkan tinta peristiwa hidupku diatas kertas putih kehidupan.

it's me!!!!

it's me!!!!