Senin, 22 Desember 2008

hARI iBU

kemarin hari ibu, 22 desember 2008....
setiap perempuan pasti menjadi seorang ibu,,,bagi yg berminat sechh......
aku sayang dengan ibunda begitu pun dengan ayahanda,,,,
tapi ko kerjaan gw berantem mulu ya????
oh,,,berarti caraku mengungkapkan rasa sayang adalah dengan berbeda pendapat.
ibu adalah arah segala harap dan muara setiap maaf.....
karena ibu adalkah gerbang yang mengantarkan kita pada kehidupan yag kita nikmati saat ini.
jadi sayangilah iu karena dia adalah mentari yang tak akan pernah redup, rembulan yg memberikan keindahan dan udara yg berhembus halus,
ibu tak terungkap dengan syair bahkan pengorbanan ibu hanya akan terasakan apabila kita nanti m enjadi seorang ibu.....
TUhan memberikan tempat terindah pada seorang manusia dalam mencapai puncak kehidupan yg sesungguhnya bukan dilangit ketujuh atau tempat tertinggi dalam kekuasaan manusia tapi dibawah telapak kaki seorang ibu
Aku sayang IBU

hARI iBU

Selasa, 09 Desember 2008

Aku dan Para Lelakiku…

Seni kehidupan adalah mengatasi masalah ketika ia muncul, bukannya menghancurkan semangat dengan hal-hal yang terlalu jauh didepan.

Kerap kali cinta kita butuhkan untuk sekedar menguatkan kita dalam suasana tak ramah,,kadang cinta seperti ini berharga dan membuat para pelakunya rela berkorban apa saja…yang jelas semuanya atas nama cinta, sehingga pemerkosaan pun terjadi atas nama cinta!!!!

Lalu bagaimana denganku dan para lelakiku yang kini tiba-tiba hadir dalam setiap detik kehidupanku,,,
Betapa naifnya aku saat berfikir mereka tertarik dengan apa yang ada pada diriku, ya tidaklah,,,,bukan karena aku yang menarik tapi keadaan memaksa mereka untuk selalu bertemu aku..walau sebenarnya hati tak ingin, aku tahu para lelakiku ini punya kehidupan sendiri yang tak bisa aku campuri,,,

Kamu bingung aku berbicara apa? Aku sedang berbicara tentang cinta yang abstrak kemudian menjadi absurd lalu berubah menjadi cerita kelam. aku parah dalam hal luka, aku professional dalam hal penderitaan. Kacau benar hidupku sekarang, dikelilingi manusia munafik, tak berpendirian, sarat kepentingan bahkan yang sama sekali tak tahu tujuan apa dia hidup. Aku saja lieur dengan nasibku lima tahun kedepan jika komunitas yang aku rambah saat ini seperti itu. Tapi sudahlah tak usah pikirkan masa depan karena hanya akan membuat hari-hari kita semakin tak ada dan sibuk mengejar ambisi. Walau cita-cita itu penting, tapi aku tak akan membiarkan cinta membutakanku pada sebuah kenyataan real yang aku hadapi sekarang. Biarkan semuanya absurd dan tak jelas tapi tidak dengan keyakinan yang aku miliki sekarang. Bahwa para lelakiku tak sekejam monster yang tega menerkamku dengan sikap manis tapi menelanku dengan nafsu memburu. Biarkan para lelakiku ini menikmati hidupnya dengan caranya sendiri, yang jelas mereka ada untuk sekedar menguatkan keyakinan bahwa aku ini memang perempuan. Bukan makhluk dengan kelamin ganda. Owh…tidak aku memang perempuan, cantik dan bertakwa bahkan walau sebenarnya orang cantik tak akan bilang dirinya cantik dan orang bertakwa tak akan bilang bahwa dirinya bertakwa.

Meski aku dengan para lelakiku senantiasa bertemu tapi tak akan kubiarkan mereka menjamah bagian tersensitif yang aku miliki yaitu perasaanku. Biarlah mereka hanya tahu aku ini batu, gila, tak rasional, seksi bila dibandingkan dengan nenek-nenek mereka, atau bahkan manja dan arogan. Biarkan mereka hanya menikmati pembicaraan ngawurku tetapi tidak dengan tubuhku. Karena aku tak mau terjatuh dalam kenistaan dengan para lelakiku.

PARA PELACUR ORGANISASI

kadang mengutarakan ambisi terlalu awal adalah tindakan konyol. Mendedahkannya terlalu dini pada tawa dan kesinisan dunia dapat menghancurkan ambisi itu sebelum sempat terlahirkan dengan benar. Namun, kadang kebalikannya yang terjadi, dan tindakan melisankan itu justru membuatnya tiba-tiba terasa mungkin terjadi, bahkan dapat terbayangkan.”

Sebenarnya siapa yang hidup untuk orang lain? Atau orang lain hidup untuk dirinya? Karena ternyata sesungguhnya tak ada siapa yang hidup untuk siapa melainkan setiap individu itu hidup untuk kepentingan dirinya sendiri. Banyak orang berbicara bahwa sebagai manusia kita butuh untuk berdialektika dan berinteraksi dengan orang lain melalui organisasi,,,,

Esensi zaman dulu mungkin ia, ketika orang terjun dalam ranah pergerakan atau perhimpunan atau perkumpulan atau apapun itu semuanya datang dan masuk atas dasar sebuah asas kesamaan akan nasib dan terjun untuk belajar,,,tapi kini orang yang masuk dan terlibat dalam sebuah dunia yang dinamakan organisasi hanya untuk memuaskan kepentingannya, untuk meraih kekuasaan atau mencari penghidupan. Bukan untuk menghidupkan sebuah organisasi tapi mencari hidup di organisasi. Bagaimana tidak jika diskusi hanya sebatas onani wacana yang terungkap hanya dalam forum dan buyar dalam realitas…

Semua berburu untuk menjadi anggota dari sebuah organisasi besar dengan tujuan bahwa banyak orang berhasil disana dengan keyakinan diwaktu berikutnya ia yang akan mengikuti jejak keberhasilan itu..tak ada yang salah ketika semua berangkat dari keinginan suci untuk membangun dan mengembangkan potensi diri, tapi menjadi salah ketika untuk sebuah keinginan dan egoisme pribadi tak melirik kanan kiri berambisi dalam kekuasaan tanpa melihat teman atau saudara tindas sana tindas sini.
Diwaktu lain dia berbaju ungu, saat ungu romantic dengan keadaan. Diwaktu lain dia menjadi hijau saat hijau penuh kesuburan dan basah dengan keuntungan, lalu kemudian dia menjadi kuning saat terbuang dari komunitas. Dia bisa berganti baju dan kelamin kapan saja sesuai selera dan menu kesenangan yang ia suka. Yang ada dipikiran manusia jenis ini adalah bisa hidup dimanapun ia ada, apa perdulinya dengan idealisme karena toh idealisme hanyalah sebuah paham yang bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi kebanyakan.

Dan orang itu ternyata menjadi mayoritas kini, entahlah pendidikan politik yang terlalu dini disebar luaskan tanpa proses pada masyarakat membuat semua orang kini banting stir beralih profesi menjadi calo-calo organisasi. Apa itu???
Apa bedanya aktivis organisasi macam ini dengan pelacur???
Kadang-kadang ia memasang tarif murah saat tidak laku, lalu tiba-tiba memasang tarif tinggi ketika berhadapan dengan hidung belang ber-uang banyak. Nyambung atau tidak, pelacur lebih berharga ketimbang manusia munafik. Dan aku kini berada dalam komunitas itu,,,yang katanya memperjuangkan nasib bangsa kelak, tapi realitas kini merubah pola pikir yang tadinya bersih bisa jadi kotor, dan yang tadinya kotor makin sulit untuk dibersihkan.

Ketika ada orang benar sendirian dalam kebejatan yang mayoritas ia hanya bisa terdiam dan tersiksa sendiri dengan idealismenya. Tilik saja Cicero dalam perjalanan karir politik “perjalanan kepuncak dalam dunia politik sering mengurung orang dengan sesama penumpang yang tidak menyenangkan, sering memperlihatkan pemandangan yang aneh”. Terjebak dan tetap tak bisa kembali pada keadaan semula sehingga yang terjadi adalah meneruskan semuanya tanpa perlawanan dan ikut menikmati permainan.

Semuanya pemain sandiwara, entah dia aktivis, tokoh agamis, politikus bahkan tikus betulan sekalipun semuanya tetap pemain sandiwara. Tetapi sehebat apa dia bermain tidak tergantung pada pengalaman yang dilewatinya. Karena tetap saja pemain sandiwara yang hebat sebanyak apapun pengalamannya, selalu dicekam kekhawatiran ketika naik panggung.

Selasa, 11 November 2008

aku rindu ibu.....
setelah sekian lama aku tak pernah perduli dengan semua yang terjadi didalam keluargaku,,,
malam ini aku begitu merindukan ibu....

Rabu, 08 Oktober 2008

hadiah terindah untuk perempuan



Aku menciptakan seorang perempuan, sebagai makhluk yg istimewa Aku membuat dirinya kuat berdiri diantara keras dan congkaknya dunia, namun ia memiliki kelembutan dan mampu memberikan ketenangan,,, Aku memberi sedikit Asma-KU dirahimnya untuk mampu melahirkan anak, mengasuh dan membesarkannya dalam derita,,,, lelah tanpa keluhan walaupun ia harus menerima kemarahan serta penolakan dari anak-anaknya Aku memberi cinta untuk mencintai darah dagingnya walaupun mereka menyakitinya... Aku memberi ujian dan cobaan hidup agar dia tetap tegar ketika orang lain berputus asa dan kalah...... Aku memberi ketulusan padanya untuk berbuat ketika yang lain mengharapkan pamrih,,, Aku menunggunya di Syurga... Menyambut Sang BIDADARI,,,,

Jumat, 26 September 2008

kejujuran ilmiah


ini bukan tak adil yang terjadi hanyalah kesalahpahaman ilmiah,,,dan terjadinya ketidak jujuran ilmu pengetahuan,,,,,,
BUKANKAH KITA BISA MEMANDANG SETIAP PERMASALAHAN DARI BERBAGAI SISI?
tidakkah ada jalan lain untuk kita saling memahami kepentingan kita satu sama lain?
kejujuran kita yang aka bisa menjawabnya,,,,,,,,

coretan terbaikku,,,,,,,

Hak Reproduksi Perempuan dalam Tinjauan Agama Islam


A.
Hak-hak reproduksi perempuan perspektif Islam

Bicara reproduksi perempuan sesungguhnya adalah bicara soal tubuh perempuan berikut semua yang dimilikinya. Ia bukan sekedar seonggok tulang yang dibungkus daging dan kulit serta organ-organ reproduksi, tetapi juga hati nurani dan akal pikirannya. Ia adalah tubuh manusia dengan seluruh eksistensinya seperti manusia berjenis kelamin laki-laki.

Dalam waktu yang sangat panjang makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan ini dipandang oleh banyak peradaban manusia sebagai sosok yang yang hadir untuk dinikmati secara seksual, berfungsi melahirkan sekaligus juga direndahkan. Aristoteles mengkonseptualisasikan perempuan bukan hanya berkedudukan subordinat, melainkan juga secara bawaan dan biologis bersifat inferior dalam kapasitas mental maupun fisik. Semuanya bersifat alami.[1] Dalam peradaban Arabia pra Islam perempuan adalah mata (benda) yang bisa diwariskan atau digadaikan dan mut’ah” (kesenangan) yang bisa diperebutkan laki-laki. Lebih dari itu perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan. Karena itu ia seringkali dianggap wajar untuk dikutuk seperti setan dan pantas untuk dibunuh bahkan hidup-hidup.

Realitas kebudayaan seperti ini diungkapkan oleh sejumlah ayat dalam Al- Qur-an.Q.S. Al-Nahl, 58,).

Artinya:”Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah”.

QS. Al-Takwir : 9


Artinya: ”Karena dosa Apakah Dia dibunuh,”

Wahb bin Munabbih, seorang ahli tafsir bibel terkemuka, beragama Yahudi kemudian masuk Islam, seperti dikutip ahli Tafsir klasik terkemuka, Ibnu Jarir al Thabari, ketika mengomentari kejatuhan Adam dari surga, mengatakan : Tuhan bertanya kepada Adam : mengapa kamu menentang perintah-Ku?”. Adam menjawab : Gara-gara Hawa. Tuhan kemudian mengatakan : Jika begitu, Aku akan jadikan dia (Hawa) berdarah-darah setiap bulan, Aku jadikan dia bodoh dan Aku jadikan dia menderita ketika melahirkan. Padahal sebelumnya dia Aku jadikan bersih cerdas dan melahirkan dengan menyenangkan”. Salah seorang periwayat kisah ini mengomentari : Andaikata tidak karena Hawa, niscaya perempuan di seluruh muka bumi tidak akan pernah haid, cerdas-cerdas dan melahirkan tanpa susah payah”. (Al thabari, Jami’ al Bayan ‘an Takwil Ay al Qur-an, I/237).

Pernyataan al Qur-an maupun perspektif Ibnu Munabbih di atas dengan jelas memperlihatkan betapa pandangan peradaban Arabia pra Islam dan wacana tafsir keagamaan telah menyudutkan dan merendahkan perempuan sedemikian jauhnya.

Meskipun pandangan Ibnu Munabbih sulit dipahami oleh logika sehat dan sangat berbau mitologis, tetapi ia memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap status perempuan di kemudian hari. Penghargaan sedikit lebih baik terhadap kaum perempuan dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali melalui izin suami atau keluarga dekatnya atau dengan pengawasan yang sangat ketat.

Dan di rumah itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan seks laki-laki (suami) dan melahirkan anak. Perempuan (istri) harus senantiasa siap menerima kebutuhan laki-laki itu kapan saja dan di mana saja, di dapur atau di atas punggung unta.

B. Islam dan Hak-hak Perempuan

Islam sebagai agama seperti juga agama-agama yang lain adalah otoritas yang selalu berfungsi menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tirani-tirani manusia yang lain. Al Qur-an menyebutkan fungsi ini sebagai yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur” (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya). Islam hadir dalam peradaban patriarkhis yang menindas perempuan.

Nabi Muhammad menyampaikan statement Tuhan tentang penghapusan diskriminasi manusia di satu sisi dan membangkitkan kesadaran baru tentang martabat manusia di sisi yang lain. Laki-laki dan perempuan menurut teks suci Tuhan lahir dari entitas yang sama dan karena itu berkedudukan sejajar dan sama di hadapan Tuhan. Q.S. al Nisa: 1.


Artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Ini adalah merupakan konsekwensi logis dari teologi monoteistik yang dibawa Islam. Beberapa ayat al Qur-an yang turun menyebutkan nama perempuan bersama nama laki-laki.

Mereka memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa diintervensi laki-laki. Ini, kata Umar bin Khattab adalah paradigma baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.(Al Bukhari, al Shahih,V/2197). Bahkan beberapa surah diberi nama al Nisa” yang berarti perempuan, atau nama seorang perempuan, seperti Maryam atau yang berkaitan dengan persoalan hak reproduksi perempuan seperti al Thalaq.

Pandangan kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan dalam al Qur-an meliputi aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas dan seksualitas serta segala aktifitas kehidupan praktis yang lain. Tentang hubungan seksualitas, al Qur-an menyatakan : dan mereka (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban mereka”.(Q.S. al Baqarah, 228).

Artinya:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi terkemuka, mengomentari ayat ini dengan mengatakan : Aku suka berdandan untuk isteriku seperti aku suka dia berdandan untukku”.(Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al Azhim, I/271). Ayat lain juga menyebutkan : mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.(Q.S. Al Baqarah, 187).

Artinya:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Ayat ini dikemukakan dalam konteks relasi seksual suami isteri. Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, al Hasan, Qatadah, al Siddi, Muqatil bin Hayyan menyatakan bahwa ayat ini berarti bahwa mereka tempat ketenangan bagi kamu (laki-laki) dan kamu tempat ketenangan bagi mereka (perempuan). Ibnu Katsir atas dasar ayat ini menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk menikmati kehidupan seksualnya. (Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, I/220).

C. Pandangan mainstream konservatif

Pandangan egalitarianisme Islam di atas adalah satu dari sekian prinsip Islam yang diharapkan menjadi landasan bagi system dan pranata-pranata social yang harus dibangun oleh masyarakat Islam untuk sebuah kehidupan yang adil. Sesudah nabi wafat dan beberapa waktu sesudah itu, pandangan demikian mengalami proses perjalanan yang tidak mulus bahkan ada kecenderungan stagnan atau bahkan mundur ke belakang. Dalam banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, terdapat pandangan kaum muslimin yang belum memberikan respons transformatif-progresif.

Mayoritas penafsir al Qur-an dan sunnah nabi seperti yang banyak kita baca dalam literatur klasik Islam memperlihatkan kecenderungan memposisikan perempuan secara subordinat. Hampir semua penafsir klasik berpendirian bahwa perempuan secara alami adalah makhluk inferior, sementara laki-laki superior. Pendirian mereka dibangun atas dasar argumen teks otoritatif, seperti ayat 34 surah al Nisa.

Pandangan ini pada akhirnya membawa implikasi-implikasi serius pada persoalan hak-hak reproduksi perempuan. Sejumlah masalah reproduksi perempuan dalam banyak literature Islam klasik, dikemukakan dengan tetap memposisikan perempuan sebagai makhluk biologis untuk kenikmatan laki-laki.

D. Macam- macam Hak-Hak Reproduksi Perempuan

1. Khitan perempuan

Khitan perempuan adalah masalah dini dari persoalan reproduksi perempuan. Mengenai khitan Al Qur-an sendiri tidak menyebutkannya secara eksplisit baik untuk khitan laki-laki maupun perempuan. Kitab suci ini hanya menyebut hendaklah kamu mengikuti tradisi nabi Ibrahim”. Para ahli tafsir kemudian menyebut khitan sebagai salah satu tradisi Ibrahim. Pandangan mainstream kaum muslimin menunjukkan bahwa khitan perempuan adalah perlu. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan khitan perempuan adalah kemuliaan atau penghormatan.

Sementara mazhab Syafi’I yang menjadi basis keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia, menyatakan khitan prempuan adalah wajib seperti laki-laki. Khitan adalah kewajiban, ibadah dan syiar agama. (Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu,III/642). Pendirian tersebut didasarkan atas hadits nabi : potonglah ujungnya dan jangan berlebihan karena itu akan membuat wajah dia (perempuan) berseri-seri dan menyenangkan laki-laki”. (Abu Daud, al Sunan, IV/ 368).

Secara kwalitatif hadits yang menjadi dasar perlunya khitan perempuan menurut sejumlah ulama, seperti Abu Daud, Ibnu Munzir, al Syaukani dan Sayid Sabiq adalah lemah. Dengan kritik sangat tajam Sayid Sabiq mengatakan : Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang sahih (valid).(Fiqh al Sunnah, I/26). Secara logika pemotongan bagian tubuh perempuan yang paling sensitive ini (klitoris) sulit dimengerti, apa guna (maslahat) nya ?. Ini tentu berbeda dengan khitan laki-laki. Pemotongan klitoris boleh jadi justeru menghilangkan kenikmatan seksual perempuan.

Kalau demikian, pernyataan nabi di atas seharusnya dapat diinterpretasikan sebagai respon nabi atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu itu sambil berusaha melakukan reduksi atasnya secara persuasive dan bertahap. Soalanya penghapusan budaya secara serta merta akan menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Dengan begitu pernyataan itu juga dapat mengarah pada upaya penghapusannya terutama ketika praktek khitan perempuan tersebut menurut pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberikan manfaat apalagi menyakiti atau merusak anggota tubuh.

2. Hak menentukan perkawinan

Perempuan dalam banyak tradisi seringkali dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa dia akan kawin. Seluruh kepentingan perempuan gadis ditentukan oleh orang tuanya dan dia harus patuh menjalaninya tanpa bisa menolaknya. Penolakan terhadap kehendak orang tua seringkali akan dicap sebagai anak yang tidak berbakti. Pada daerah tertentu, sampai hari ini masih berkembang anggapan bahwa orang tua yang dalam waktu dini bisa mengawinkan anak gadisnya akan dipandang berhasil. Mengawinkan anak gadis dalam usia dini seringkali merupakan kebanggaan keluarga. Ada sejumlah alasan mengapa ini dilakukan. Ini antara lain adalah kekhawatiran tidak laku atau menjadi perawan tua. Alasan lain yang paling umum dikemukakan adalah bersifat ekonomis. Ini pada umumnya terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah di pedesaan.

Tetapi tradisi mengawinkan anak gadis belum dewasa seringkali juga mengambil dasar keagamaan. Pertama hadits nabi yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah segera mengawinkannya jika dia sudah baligh. Jika tidak segera dikawinkan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah”. Baligh dalam batasan fiqh ditentukan berdasarkan haidnya atau usia maksimal 15 tahun. Meskipun UU Perkawinan Indonesia telah menetapkan batas usia minimal perkawinan perempuan (16 tahun), namun perkawinan di bawah usia dewasa tersebut masih menjadi fenomena yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Jika kita membaca literatur fiqh secara lebih cermat, maka akan ditemukan satu benang merah. Yaitu bahwa perkawinanan di bawah usia bukanlah sesuatu yang baik (mustahab). Imam Syafi’i pernah menyatakan : Sebaiknya ayah tidak mengawinkan anak gadisnya sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya (kerelaannya) karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawab”.(Najib Muthi’i, Takmilah al Majmu’, XV/58). Dalam analisis kesehatan reproduksi, perkawinan dini dapat menimbulkan kondisi yang rawan. Hal ini bukan hanya terkait dengan kondisi alat-alat reproduksinya yang belum kuat, tetapi juga berhubungan dengan tingkat kematangan mental dan emosinya. Padahal perkawinan dimaksudkan untuk membangun kehidupan rumahtangga yang didasarkan hubungan saling mencintai, saling memberi dan saling menguatkan demi kemaslahatan bersama. Untuk ini dibutuhkan kesiapan mental dan intelektual yang matang untuk dapat menentukan kehidupannya.

Kedua, ketentuan hukum agama (fiqh) yang menyatakan bahwa ayah berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa izin eksplisit yang bersangkutan. Ayah adalah pemilik hak ijbar yang diterjemahkan sebagai hak memaksa anak gadis untuk dikawinkan dengan laki-laki yang boleh jadi tidak dikehendakinya.

Pemaknaan hak ijbar sebagai hak memaksakan kehendak tanpa persetujuan yang bersangkutan adalah tidak tepat. Perkawinan yang dihasilkan dengan cara pemaksaan sama dengan sebuah transaksi yang tidak didasarkan atas kerelaan (taradhin). Siti Aisyah pernah menceritakan tentang seorang perempuan muda yang dipaksa kawin oleh ayahnya dengan orang yang tidak dia sukai. Dia mengadukan masalahnya kepada Nabi saw. Mendengar pengaduan perempuan itu beliau kemudian memanggil ayahnya dan memintanya agar menyerahkan urusan itu kepada anak perempuannya itu. (Ibnu al Atsir, Jami’ al Ushul, XII/140). Ini menunjukkan dengan jelas bahwa hak menentukan pasangan hidup atau jodoh berada di tangan perempuan sendiri. Apa yang dapat kita ambil dari sikap nabi saw tersebut adalah bahwa kemandirian perempuan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena di dalamnya terkandung aspek tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksinya sendiri.

3. Hak penikmatan seksual.

Sebagai makhluk biologis, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang sama dalam hal menikmati kehidupan seksual (coitus). Kebutuhan akan seks adalah fitrah makhluk apa saja, termasuk manusia. Dalam Islam kebutuhan seks manusia itu harus disalurkan melalui ikatan perkawinan yang oleh al Qur-an disebut sebagai mitsaq ghalizha”, perjanjian yang kuat Tetapi dalam banyak literature fiqh Islam, hak penikmatan seksual tampak hanya menjadi milik laki-laki. Hak-hak seksual perempuan direduksi, jika tidak boleh disebut dinafikan. Pendapat terkuat dari mazhab al Syafi’i, misalnya, berpendirian bahwa kewajiban laki-laki (suami) melayani kebutuhan seksual perempuan hanya sekali seumur hidup perkawinan mereka. Ini juga hanya karena tuntutan moral belaka. (Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Mazahib al Arba’ah, IV/3). Selebihnya adalah tergantung pada laki-laki (suami) untuk memenuhinya atau tidak. Dengan arti lain, laki-laki (suami) berhak atas kenikmatan seksnya kapan saja, dan perempuan (isteri) wajib memenuhinya. Pandangan lebih baik dikemukakan oleh mazhab Maliki, meskipun masih tetap bias. Ia mengatakan bahwa suami wajib melayani kebutuhan seksual isteri hanya jika penolakannya akan menimbulkan penderitaannya.

Perspektif ahli fiqh di atas agaknya merupakan konsekwensi dari rumusan nikah yang dibuatnya. Mayoritas besar para ahli fiqh menyepakati rumusan perkawinan atau pernikahan sebagai akad yang memberikan hak kepada laki-laki untuk penikmatan tubuh perempuan. Rumusan ini di samping memperlihatkan perspektif laki-laki, juga melihat perempuan sebatas sebagai sosok tubuh dan organ-organ reproduksi yang menarik dan patut dinikmati, bukan sebagai tubuh yang utuh dengan segenap kehendak dan hasrat kemanusiaannya.

Pada sisi lain pandangan ahli fiqh di atas tampaknya berpijak pada argumen hadits nabi yang dibaca harfiyah dan diinterpretasikan secara bias. Nabi saw menyatakan bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai pagi. (baca : Al Bukhari, al Shahih, V/1992). Wacana keagamaan ini tampaknya telah berkembang menjadi kebudayaan yang masih berlangsung sampai hari ini.

Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa menolaknya sesungguhnya dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-hak reproduksinya. Bukan hanya dia sangat mungkin tidak mendapatkan kenikmatan seksual, tetapi juga boleh jadi merupakan tekanan yang berat secara psikologis. Lebih jauh ketidak berdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.

Pandangan ini sungguh sulit dapat dimengerti ketika dihubungkan dengan prinsip kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan pesan al Qur-an tentang perlunya membangun relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah) antara suami dan isteri dalam membina rumahtangganya untuk sebuah generasi yang sehat. Al Qur-an dan hadits nabi juga selalu menekankan pentingnya relasi yang dibangun atas dasar mu’asyarah bi al ma’ruf”. Ini tentu saja membutuhkan relasi yang saling memahami, menghargai dan menjaga kesehatan reproduksinya masing-masing. Karena itu adalah mungkin diinterpretasikan bahwa apa yang dikemukakan hadits tersebut berlaku terhadap perempuan (isteri) yang berada dalam kondisi aman dan tidak dalam tekanan-tekanan psikologis. (Untuk interpretasi ini lihat dalam : Ibnu Hajar al Asqallani, Fath al Bari, IX/294, Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuh, IX/6851).

Prinsip kesejajaran laki-laki dan perempuan, dan mu’asyarah bi al ma’ruf” di atas sesungguhnya akan membawa konsekwensi logis pada dua hal. Yaitu hak perempuan untuk memperoleh kenikmatan kehidupan seksualnya dari laki-laki (suami) di satu sisi dan hak perempuan untuk menolak hubungan seksual karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan di sisi yang lain. Aspek lain yang terkait dengan ini adalah haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi termasuk biaya yang diperlukan bagi kesehatannya.

4. Hak menentukan kehamilan

Paradigma ini lebih lanjut dapat menjadi dasar bagi hak perempuan menolak untuk hamil karena pertimbangan kesehatan reproduksinya. Adalah sangat simpatik bahwa al Qur-an menekankan perlunya masyarakat memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal kehamilan perempuan. Kehamilan, kata al Qur-an, merupakan proses reproduksi yang sangat berat : wahnan ‘ala wahnin” (kelemahan yang berganda) (Q.S. Luqman, 14) dan kurhan” (sesuatu yang sangat berat).(Q.S. al Ahqaf, 15). Al Qur-an melalui kedua ayat di atas berwasiat agar manusia berbuat baik kepada orang tua mereka. Kondisi sangat lemah dan sangat berat tersebut mencapai puncaknya pada saat melahirkan. Terdapat banyak fakta social dan data penelitian tentang kematian ibu yang diakibatkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan dan proses melahirkan.

Oleh karena itu adalah sangat masuk akal bahkan seharusnya jika kehendak untuk hamil atau tidak, mempunyai anak atau tidak, perlu mempertimbangkan suara perempuan lebih dari suara laki-laki. Perempuan adalah pemilik utama rahim, tempat cikal bakal manusia dikandung. Dalam masa Islam klasik persoalan kehendak untuk tidak hamil dibahas dalam bab Azl atau coitus interuptus. Meskipun ada pandangan yang mengharamkan azl, karena dianggap sebagai pembunuhan tersamar”, tetapi mayoritas ulama berdasarkan teks hadits yang lain membolehkannya. Al Ghazali bahkan bukan hanya membolehkan azl atas dasar pertimbangan kesehatan reproduksi melainkan juga atas dasar keinginan perempuan sendiri untuk menjadi tetap cantik, awet muda, khawatir risiko keguguran dan khawatir repot banyak anak. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/52).

Pada saat ini proses menunda kehamilan atau mengaturnya dapat dilakukan melalui teknis, metode dan alat kontrasepsi yang beragam dan lebih canggih. Mayoritas pandangan ulama dewasa ini telah memberikan lampu hijau bagi masyarakat muslim untuk menggunakan metode-metode dan alat-alat kontrasepsi apapun sepanjang tidak dimaksudkan untuk membatasi berlangsungnya proses reproduksi manusia. Agak disayangkan memang bahwa alat-alat kontrasepsi yang ada sampai saat ini masih lebih banyak diperuntukkan bagi perempuan dan jarang bagi laki-laki. Penyebutan alat-alat kontrasepsi diasosiasikan masyarakat sebagai alat-alat untuk perempuan.

5. Hak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi

Akan tetapi memberikan hak kepada perempuan untuk menentukan atau memutuskan kehamilannya tidaklah cukup dapat menjamin terwujudnya kondisi reproduksi perempuan yang sehat. Indikasinya adalah seringnya muncul keluhan perempuan yang ber KB. Hal ini bisa terjadi ketika mereka tidak diberikan hak untuk mendapatkan informasi mengenai system dan alat-alat kontrasepsi yang membuatnya tetap sehat. Di sinilah, maka perempuan juga berhak mendapatkan pengetahuan yang baik mengenainya. Pihak-pihak lain yang memahami alat-alat kontrasepsi, terutama pemerintah, berkewajiban menyampaikan secara jujur mengenainya, bukan atas dasar kepentingan demografis tetapi benar-benar karena alasan kesehatan reproduksi perempuan. Ini berarti juga bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani pemasangan alat kontrasepsi berkewajiban memberikan jenis alat kontrasepsi yang sesuai atau cocok untuk kepentingan tersebut.

Adalah sangat menarik bahwa ketika al Qur-an mengemukakan asal kejadian manusia dan perkembangbiakannya ia kemudian menekankan kepada manusia agar benar-benar saling memberikan informasi tentang perlunya menjaga rahim. Al Qur-an menyatakan : Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (saling memberi informasi, pen.) dan saling menjaga rahim-rahim”. (Q.S. al Nisa, 1). Para ahli tafsir memang memberikan tafsiran ayat ini tentang perlunya menjaga hubungan silaturrahim melalui pemenuhan hak dan kewajiban kemanusiaan. Akan tetapi adalah mungkin bahwa ia juga dimaksudkan agar manusia juga saling menjaga rahim, tempat di mana cikalbakal manusia dikandung dan kemudian dilahirkan.

6. Hak menentukan kelahiran

Penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan tidak dengan sertamerta menjamin kehamilan itu sendiri. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi, misalnya, mungkin saja terjadi dan dalam banyak fakta kemungkinan ini seringkali terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki dengan begitu sangat bisa terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki mungkin juga bukan hanya karena factor kegagalan kontrasepsi melainkan juga karena faktor lain yang bisa mengganggu kesehatan reproduksi perempuan. Dalam keadaan demikian dapatkan perempuan menggugurkan kandungannya (aborsi)?.

Pada prinsipnya, Islam mengharamkan segala bentuk perusakan, pelukaan dan lebih jauh pembunuhan manusia. Ini dikemukakan dalam banyak ayat al Qur-an maupun pernyataan nabi saw. Al Qur-an menyatakan: jangan kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan”. Dalam sebuah hadits nabi pernah menyatakan: la dharar wa la dhirar” (tidak ada hak orang untuk membuat tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain). Ia hanya bisa dilakukan atas dasar hukum yang benar demi keadilan manusia.

Meski demikian ada banyak kasus dimana manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak dikehendaki. Tidak sedikit kasus di mana seorang perempuan yang hamil dihadapkan pada persoalan penyakit yang dapat membawa risiko kematian jika kehamilannya diteruskan. Misalnya penyakit jantung kronis, paru-paru atau kanker yang parah dan lain-lain. Seorang perempuan juga bisa menghadapi problem kehidupan yang sangat pahit, misalnya stress berat akibat perkosaan atau incest. Pada kasus-kasus seperti ini dia menghadapi pilihan yang dilematis. Menggugurkan kandungan dapat berarti membunuh jiwa manusia yang sudah hidup. Tetapi membiarkan jiwa tersebut tetap hidup di dalam perut ibunya kemudian dilahirkan, bisa jadi dapat mengakibatkan kematian sang ibu atau membawa trauma psikologis yang sangat berat. Realitas Indonesia menunjukkan bahwa kematian ibu negara ini akibat melahirkan tergolong paling besar. Lebih dari 400 orang setiap 100 ribu meninggal dunia. Tradisi fiqh selalu menyediakan sejumlah alternatif jawaban, karena ia adalah produk pemikiran orang dalam sejarah. Kesepakatan para ahli fiqh dalam kasus ini terjadi ketika janin sudah berusia di atas 120 hari. Pengguguran kandungan pada usia ini diharamkan. Pada usia ini menurut mereka, janin sudah merupakan wujud manusia berikut segala kelengkapannya. Untuk aborsi sebelum usia 120 hari para ahli Islam mempunyai pandangan yang beragam. Pluralitas pandangan tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menganalisis teks al Qur-an dalam surah al Mukminun, 12-14 dan hadits nabi yang menegaskan persoalan ini. Ayat ini menyebutkan fase-fase pertumbuhan dan pembentukan manusia dalam kandungan. Yaitu fase nutfah, ‘alaqah dan mudghah. Pendirian paling ketat dikemukakan oleh al Ghazali dari mazhab Syafi’I, mayoritas mazhab Maliki dan Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri (leteralis). Mereka menyatakan aborsi diharamkan sejak fase pembuahan. Sementara mayoritas mazhab Syafi’I, sebagaimana diungkapkan al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj, mengharamkan aborsi sesudah fase nutfah. Pendirian paling longgar dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Al Hashkafi mengatakan bahwa aborsi dapat dilakukan pada janin dibawah usia 120 hari. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/51, Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, II/348, Ibnu Hazm, Al Muhalla, XI/35-40. Baca pula : Jad al Haq Ali Jad al Haq, Ahkam al Syari’ah al Islamiyah fi Masail al Thibbiyyah, hlm. 139).

Sepanjang yang dapat ditelusuri dalam literature fiqh klasik yang sampai hari ini masih menjadi sumber otoritatif kaum muslimin sesudah al Qur-an dan hadits dapat disimpulkan bahwa aborsi (bahasa fiqh :Isqasth al Haml atau Ijhadh), sepakat dibolehkan hanya ketika membiarkan janin tetap hidup sampai melahirkannya dapat mengancam nyawa ibu. Kepastian bahaya kematian ini didasarkan atas keterangan medis terpercaya. Pandangan ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah kematian ibu. Ia harus lebih diprioritaskan atau dipertimbangkan dibandingkan dengan kematian janin. Dalam wacana fiqh kematian janin memiliki risiko lebih ringan dibanding risiko kematian ibu. Ibu adalah asal sekaligus sumber kehidupan bagi yang lain. Esksistensinya telah benar-benar nyata. Ibu juga memiliki sejumlah kewajiban terhadap orang lain. Keadaan ini berbeda dengan janin. Meskipun dapat dinyatakan telah eksis karena telah hidup di dalam perut (rahim), akan tetapi ia tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap orang lain. Untuk mendukung pandangan ini para ahli fiqh mengemukakan sebuah kaedah hukum : Jika kita dihadapkan pada sebuah dilemma yang membahayakan, maka korbankan hal yang paling kecil risikonya dengan menyelamatkan hal yang memiliki risiko lebih besar/berat”.: Idza ta’aradhat al mafsadatani ruu’iya a’zhamuhuma dhararan”, atau al Akhdz bi Akhaff al dhararain”. (Al Suyuthi, Al Asybah wa al Nazhair, hlm. 62).

Dari keterangan di atas tampaknya kita sekali lagi perlu memahami bahwa persoalan aborsi sesungguhnya sekali lagi bukan terletak pada soal hukum boleh atau tidak boleh dan bukan pula karena suatu alasan tertentu, melainkan berkaitan dengan hal lain yang lebih prinsipil, yaitu soal kematian perempuan (ibu).

Pemikiran ini harus menjadi dasar bagi pertimbangan keputusan hukum untuk dilakukannya tindakan aborsi atau tidak. Pada sisi lain, meskipun undang-undang telah melarang tindakan aborsi akan tetapi ia bisa saja dilakukan orang dengan segenap cara dan berbagai jalan. Dan ini seringkali membahayakan bagi keselamatan hidupnya. Saya kira kita perlu memikirkan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menimbulkan kemungkinan kematian perempuan lebih banyak . (Husein Muhammad).



[1] Laela Ahmed. Wanita dan Gender dalam Islam. hlm.29

APAPUN................


Adakah sesuatu yang disebut kesopanan alamiah?

Orang yang paling bijaksana adalah yang mengetahui bahwa dia tidak tahu…

Pengetahuan yang sejati berasal dari dalam

Barang siapa mengetahui yang benar akan bertindak benar. -Socrates-

Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang beragam itu, masing-masing pemudik disemangati oleh etos bermusabaqah dalam kebajikan. Rahmat Tuhan yang tak terbataslah yang nantinya akan menentukan mana yang terbaik di antara para pemudik itu, tanpa memandang perbedaan agama dan golongannya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (28/9) lalu, dengan Jalaluddin Rakhmat, intelektual Islam-Syiah yang meluncurkan buku Islam dan Pluralisme, pertengahan September lalu.

Berbicara tentang kebenaran, semua orang pasti merasa dirinyalah yang paling benar. Karena penyebab yang paling mendasar pada setiap permasalahan dimuka bumi ini adalah karena setiap orang merasa benar. Sedang filosof menyatakan bahwa didunia ini tak ada salah dan benar karena yang ada hanyalah alasan. Seperti hampir benar ungkapan tersebut, namun tentu saja sebagai umat Islam kita mempunyai rujukan dimana kebenaran itu berasal. Kebenaran tentunya hanya berasal dari Dzat yang Maha Penggenggam Segalanya ALLAH Azza Wajalla.

Kemudian siapa yang akan memutuskan hakikat benar itu sendiri pada sesama manusia? Apakah institusi Negara atau Institusi Islam mempunyai kewenangan dalam memutuskan siapa yang dicap benar dan siapa yang salah? Ataukah masyarakat banyak yang punya otoritas dalam menentukan kebenaran.

Kehadiran beberapa golongan baru ditubuh umat Islam pada waktu-waktu sekarang seolah mewarnai makna kebenaran dalam tubuh umat Islam sendiri yang mulai kabur. Kabur oleh kepentingan, kabur oleh egoisme sesaat, kabur oleh kesombongan akan kesempurnaan diri, dan kabur oleh kebenaran yang sesungguhnya dianugerahkan Tuhan.

Jarak antara kepercayaan diri dengan kesombongan cukup sempit. Dimana kadang kala kepercayaan diri yang berlebihan akan mengantarkan kita pada pintu kesombongan dan gerbang kebodohan.

Kehadiran Ahmadiyah sebenarnya bukan hal baru lagi di Indonesia, karena kehadiran golongan ini sesungguhnya sudah cukup lama, sampai-sampai umat Islam sendiri kaget dengan besarnya minat masyarakat yang kini telah menjadi pengikut Ahmadiyah. Namun yang ingin penulis soroti disini bukanlah fase-fase perkembangan jemaah Ahmadiyah, tetapi respon masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia dan peran institusi dalam menghadapi realitas yang tengah terjadi.

Seperti telah diketahui bahwa kebanyakan dari masyarakat di Indonesia menganut agama Islam disebabkan oleh garis keturunan orang tua yang juga seorang muslim. Sehingga hal ini menyebabkan metode pengajaran yang diterima sebagian besar masyarakat bersifat searah, yaitu berdasarkan tradisi turun temurun. Sehingga apabila suatu saat terjadi sesuatu yang lain, yang aneh dan berbeda hadir ditengah-tengah kehidupan, masyarakat biasanya menganggap hal tersebut diluar kebiasaan dan tidak diajarkan para leluhur atau orang tua mereka dan menjadi tabu untuk dilakukan dan dilaksanakan. Lebih dimantapkan lagi larangan ini dengan mengaitkannya melalui hal yang sifatnya tidak masuk akal.

Pemikiran yang seperti ini, biasanya dialami oleh masyarakat yang memiliki kultur tradisional dan konservatif dengan membesar-besarkan perbedaan.

Saat golongan Ahmadiyah dinyatakan sesat oleh MUI, respon masyarakat serentak menyetujui keputusan yang dibuat MUI tersebut. Tak hanya Ahmadiyah saja, Wahidiyah pun kemudian diputuskan sebagai salah satu aliran yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-sunah. Respon penolakan masyarakat Islam semakin menjadi-jadi dengan provokasi beberapa ormas Islam untuk memboikot jemaah Ahmadiyah. Dan hal yang paling menyedihkan adalah kekerasan-kekerasan yang dilakukan yang katanya masyarakat Islam, seperti menyeret para jemaah Ahmadiyah, menghancurkan mesjid-mesjid Ahmadiyah, bahkan melakukan serangan-serangan dengan pernyataan perang terhadap jemaah Ahmadiyah. Itukah cara Islam meluruskan saudaranya?

Melihat sudut sejarah aliran Ahmadiyah ini namanya diambil dari pendirinya Mirza Ghulam Ahmad. Dalam perkembangannya kemudian golongan ini terbagi kedalam dua aliran, yakni (a) Ahmadiyah Qadiyan yang berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Rasul akhir zaman yang mendapat wahyu dari Allah untuk menyempurnakan Islam dan (b) Ahmadiyah Lahore yang berpendirian bahwa Mirza itu hanyalah seorang mujadid (pembaharu), bukan seorang nabi dan Rasul. (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH & Hj. Habibah Daud, SH. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. 1995: 27).

Dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa umat Ahmadiyah di Indonesia pun berbeda pemahaman dalam memposisikan dirinya dalam ajaran tersebut. Seperti diketahui masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mudah tersulut isu-isu Sara untuk mengimbangi isu politik yang sedang gencar. Dalam hal ini bisa saja kehadiran Ahmadiyah ini dimunculkan untuk meredam anemo/minat masyarakat dalam menghadapi kenaikan BBM. Ditambah lagi dengan penetrasi media cetak maupun elektronik yang semakin menambah panjang persoalan Ahmadiyah vs BBM.

Yang menggelitik pemikiran penulis adalah, mengapa para jemaah Ahmadiyah begitu kuatnya dengan keyakinan mereka. Meski dengan serangan yang bertubi-tubi berupa kekarasan, penghancuran, bahkan penolakan masyarakat terhadap kehadirannya, aqidah yang dimilikinya bukan semakin menurun tapi justru semakin kuat. Apa ini yang terjadi? Sedangkan akhir-akhir ini kalangan umat Islam yang non Ahmadiyah, keyakinannya hanya ditukar dengan isi perut, bungkusan mie instant pun jadi. Bahkan kalangan yang mengerti tentang benar salahnya agama justru berlomba-lomba dengan mengumpulkan kekayaan hasil korupsi. Apakah mereka dianggap sesat, dikecam, digusur, didaulat untuk bertobat, dan dinyatakan keluar dari agama Islam? Mungkin sebagian besar masyarakat juga menyatakan respon yang agresif terhadap para koruptor tersebut, namun disisi yang lain ada sebagian masyarakat bahkan masyarakat Islam sendiri menganggap biasa perbuatan koruptor. Yang sungguh Ironis malah ditahun 2004 dinyatakan bahwa korupsi nomor 2 terbesar di Jawa Barat adalah Departemen Agama. Bahkan sekolah Almamater penulis yang juga berlatar keislaman ditahun yang sama dinyatakan nomor 3 dalam kasus korupsinya!

Lantas pertanyaanya sekarang adalah, apakah peran Institusi Islam dalam kehidupan bernegara hanya diwujudkan dengan sekedar mengeluarkan fatwa, membahas kericuhan, atau saling berebut kursi panas dikalangan para elit politik? Kemudian kontribusi apa yang diberikan kepada masyarakat dalam mewujudkan kerukunan dan suri tauladan yang baik. Yang bisa menjadi figur dalam menentukan kemana arah umat Islam kedepan dengan Gardanya yang terletak pada Institusi Islam itu sendiri.

Berbicara kembali pada peran Institusi Islam di Indonesia dalam hal ini Majelis Ulama, perannya dalam pemerintahan sepertinya terbatasi oleh ruang yang sengaja diciptakan oleh pihak yang berkepentingan. Majelis Ulama, komentar ataupun fatwanya ada apabila muncul isu-isu yang berkaitan dengan ajaran agama. Negeri kita memang bukan Negara teokrasi yang berpendapat bahwa agama dan Negara tidak dapat dipisahkan, namun secara tegas Negara kita pun tidak menyatakan sebagai Negara sekuler yang memisahkan Negara dan agama secara terang-terangan. Ini bisa saja merupakan implikasi dari sistem hukum campuran (pluralistis: hukum positif, hukum islam, hukum adat) yang dianut oleh Indonesia, sehingga pemerintah sendiri pun masih butuh waktu untuk memutuskan kemana arah hukum Negara ini akan dibawa.

Implikasi dari sistem hukum campuran yang dipakai oleh Indonesia dengan contoh kasus Ahmadiyah, saat MUI menyatakan aliran Ahmadiyah sesat sebagai bukti eksistensinya dalam menjaga kemurnian Islam di Indonesia. Sebagian masyarakat setuju dengan berbagai reaksi, dari mulai reaksi yang biasa-biasa saja hingga reaksi anarkis seperti yang diungkapkan sebelumnya. Disisi lain otoritas Majelis Ulama ditanggapi dingin oleh para aktivis Hak Asasi Manusia. Reaksi dingin ini muncul disebabkan oleh respon masyarakat muslim Indonesia yang drastis kehilangan kontrol emosi setelah mendapat fatwa ulama sehingga menjatuhkan korban. Aktivis HAM berpendapat bahwa apa yang dilakukan masyarakat untuk mengikuti dan menganut ajaran Ahmadiyah merupakan salah satu bentuk kebebasan dalam beragama. Dan hal itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku di Indonesia yaitu pasal 29 ayat (2). Disudut yang lain lagi sebagian besar umat Islam Indonesia bahkan dunia menganggap Ahmadiyah telah melakukan pelecehan agama Islam dengan menyatakan Mirza ghulam Ahmad sebagai nabi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang terjadi antara sesama umat beragama ini adalah miss komunikasi yang tidak dijalin sejak awal dengan itikad untuk menyelesaikan masalah saling menerima dan mendengarkan satu sama lain. Namun walaupun ada komunikasi yang dibangun sebelumnya, tidak lain dengan membawa masing-masing argument untuk menjatuhkan satu sama lain. Bahkan ketika Majelis Ulama memakai otoritasnya untuk memutuskan kebenaran dengan mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah sesat, tetap saja tidak cukup meredam masalah namun justru mendatangkan masalah-masalah baru.

Indonesia merupakan Negara yang multi agama, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara yang rawan terhadap disintegrasi bangsa. Sebenarnya yang sekarang dibutuhkan masyarakat adalah figur-figur yang bisa menjadi suri tauladan bagi masyarakat luas. Karena krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sekarang termasuk didalamnya adalah krisis keteladanan terutama ditubuh Institusi Islam lewat tokoh-tokohnya.

Dengan semakin luasnya persaingan serta derasnya informasi yang mencekoki masyarakat dengan segala kemudahannya, hendaknya komunikasi Insitusi Islam bisa lebih mendekatkan diri pada masyarakat lewat peran-peran keagamaanya. Dan Insitusi Islam sendiri tidak hanya muncul apabila terjadi persoalan bangsa yang melibatkan umat beragama. Diharapkan dengan tindakan Institusi Islam yang lebih memasyarakat, bisa mengobati kekecewaan rakyat terhadap para pemimpin Negara yang berada dikursi kekuasaan yang justru semakin tidak merakyat dan jauh dengan keadaan masyarakat.

Harapan tinggalah harapan, dan wacana seyogianya bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sebagai manusia memang selalu diliputi berbagai persoalan, gudangnya kesalahan, dan makhluk yang paling bisa mengelak dan berusaha mencari pembenaran dalam setiap tindakannya. Kesempurnaan memang tidak akan pernah dimiliki makhluk yang serba kurang ini, namun ini tidak menjadi alasan manusia untuk selalu menghindar dari apa yang telah dititahkan Tuhan dalam setiap Firmannya yaitu Beribadah.

Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Apapun yang terjadi didunia ini sekarang baik itu ditubuh Institusi maupun jasad kita sendiri adalah merupakan proses kehidupan menuju kepada pendewasaan diri dalam mematangkan setiap keputusannya sebagai pengemban Amanah dimuka bumi (Khalifatu Fil Alrdi). Sebagai manusia biasa hendaknya kita tidak mendahulukan eksistensi ketimbang esensi dengan kata lain mendahulukan wujud daripada hakikat perannya sebagai manusia.

Senin, 22 September 2008

Persahabatan Itu......


Aku tak tahu cara mencintai yang baik itu seperti apa? tapi setidaknya aku mau belajar untuk mencintai orang lain dengan sepenuh hati dan perasaanku.
aku tak tahu sahabat yang terbaik itu seperti apa? namun aku mau belajar menjadi seorang sahabat yang baik. sungguh sangat menyayangkan bila dalam separuh perjalankan hidupku aku habiskan sendiri tanpa seorang sahabat.
sahabat itu bisa datang dari dunia yang berbeda dan juga pemikiran yang berbeda, bahkan dari cara memandang dari dimensi yang berbeda. karena perbedaan bukan untuk membuat kita merasa tidak cocok atau menjadikannya patokan untuk tidak pernah bisa bersatu.
tapi perbedaan adalah warna warni kehidupan yang bisa memberi warna menarik....

aku mungkin tak memiliki kisah cinta yang membekas dalam memoriku, tapi meski begitu aku masih memiliki sejuta kisah persahabatan yang bisa lebih memberiku banyak pelajaran berharga untuk menuju pendewasaan.
karena perahabatan itu tak terdefinisi buatku,,,,tapi persahabatan itu seperti halnya cinta bahkan lebih agung dan berharga dari cinta.
Rasulullah saja bisa kita kenal sekarang lewat sahabat-sahabatnya yang senantiasa memberinya semangat dan keyakinan, membelanya saat yang lain mencemoohnya.
Allah memberi kita kemampuan untuk berinteraksi dengan yang lain bukan untuk menyulut konflik dan menambah permasalahan hidup kita. Tapi Allah memerintahkan kita untuk senantiasa menjalin silaturahmi dan taaruf dengan cara yang ma"ruf. Karena dengan menjalin silaturahmi maka pintu kehidupan kita akan menjadi banyak jalan, terbuka lebar dan kemana pun kita pergi tidak akan pernah merasa sendiri...
untuk itu....aku berani bertaruh,,,,
bahwa persahabatan itu senantiasa ada walaupun cinta sejati sudah tidak ada
persahabatan itu lebih berharga dibanding harta simpanan yang tidak pernah dipergunakan untuk amal.
sahabat,,,,,itu adalah,,,,,aku, kamu.....dan kita semua....

Sabtu, 20 September 2008

WOMAN STUDIES CENTRE


PEREMPUAN…

Pernahkah kalian berjalan diiringi tatapan tak menyenangkan, bahkan siulan dan kata-kata yang membuat kalian risih?

Pernahakah kalian dilarang menjadi ketua karena dalam organisasi itu masih ada laki-laki, padahal kalian jauh lebih cerdas, mampu dan siap?

Pernahkah kalian mendapat perlakuan kasar dalam keluarga?

Pernahkah kalian diupah lebih rendah?

Pernahkah kalian diperlakuakan tidaka senonoh, karena dianggap penggoda dan pemantik hasrat?

Pernahkah kalian dikatai lemah,emosional, irrasional?

Pernahkah kalian dilarang sekolah dan dipaksa cepat-cepat menikah?

Pernahkah kalian diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tak peduli dalam keadaan apapun, sedangkan saudara laki-laki kalian/ ayah kalian bersantai dan memanjakan diri mereka sendiri?

Pernahkah kalian dilarang berorganisasi, dilarang mendapat pengetahuan yang lebih banyak, dilarang bekerja diluar rumah?

Pernahkah kalian dilarang keluar malam?

Pernahkah malam diluar rumah/kostan membuatmu merasa taka man dan tak nyaman, seolah hal buruk mengintai tiap waktu?

Pernahkah kalian menuntut hak, lalu diminta member imbalan materiil dan immaterial?

PEREMPUAN…

Pernahkah kalian marah ketika itu terjadi?

Pernahkah kalian berfikir itu tak pantas dialami?

LAKI-LAKI,,,,

Pernahkah kalian disebut cengeng karena menangis?

Pernahkah kalian disebut banci karena menolak berkelahi?

Pernahkah kalian disebut tidak punya harga diri karena mau menurut pada perempuan?

Pernahkah kalian dilarang mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena katanya itu bukan pekerjaan kalian?

Pernahkah kalian dianggap lembek karena bersikap lemah lembut?

Pernahkah kalian dianggap terlalu centil karena memperhatikan penampilan?

Jika pernah maka kalian tak berbeda dengan kami,,,

Maka kalian dan kami menjadi kita.

Kita yang marah dan ingin mencatat sejarah,,

Kita yang ditindas dan melawan ketidak adilan dalam komunitas…!

Mari saatnya, kita eratkan persaudaraan yang dilandasi kesetaraan,,

Demi kemanusiaan, demi sempurnanya ketakwaan.

Selasa, 26 Agustus 2008



“Tinjauan Kritis NU dalam perspektif Empat Madzhab”

Narasumber;

Bpk. H.Fathurrahman,Lc

Sejarah Madzhab Empat

Pendahuluan

Pengertian dan Perkembangan Fiqh

Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu faquha yang secara bahasa atau etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami. Kata fiqh juga juga bisa di artikan alilmu. Dalam Al-Qurân terdapat dua puluh ayat yang memakai kata ini dengan pengertian makna berbeda-beda tersebut.

Dari sini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat).Hal ini bisa dimaklumi karena kehadiran rasulullah ditengah-tengah meraka adalah sebagai sumber segala ilmu yang mereka butuhkan yang akan langsung mereka contoh lalu terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Para sahabat secara langsung bisa melihat bagai mana rasulullah berwudhu,sholat dan bermuamalah. Bahkan jikalau ada pertanyaan atau permasalahan maka mereka bisa langsung menyampaikannya pada rasulullah dan langsung dijawab.

Pada awal perkembangan islam khususnya pada era Nabi, islam baru tersebar disekitar daratan arab dengan kondisi sosial,masyarakat dan kultur yang relative sama yang tentunya belum memunculkan persoalan-persoalan baru yang akan menimbulkan perbedaan pendapat.Lebih dari itu factor kehadiran Nabi ditengah-tengah mereka yang menjelaskan kepada mereka hokum-hukum islam mengangkat segala khilaf atau juga menjawab segala persoalan yang mereka hadapi.

Ketika Nabi SAW wafat, dakwah islam diteruskan oleh para sahabat. Maka para sahabat menyebar keberbagai penjuru Negara islam. Seiring dengan bertambah luasnya Negara islam maka bertambah banyak pula masyarakat yang masuk islam dari kelompok masyarakat yang bermacam-macam dengan kondisi sosial,budaya,kultur bahkan religi yang berbeda yang tentunya membawa permasalahan baru yang berbeda dengan sebelumnya. Maka disini para sahabat ditantang untuk bisa melihat permasalah dengan cara baru.

Namun demikian, para Sahabat berusaha untuk mengembalikannya kepada Al-quran dan Hadits Nabi SAW dan selanjutnya jika tidak didapatkan pada keduanya para sahabatpun berijtihad sesuai dengan keilmuan yang telah mereka miliki.Di sini, perbedaan pendapat terkadang muncul antara yang satu dengan yang lainya sesuai dengan apa yang mereka fahami dari Al-Quran dan yang mereka terima dari Nabi SAW. Seperti perbedan yang terjadi antara Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Masâud tentang masalah riba. Juga antara Sahabat Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti quruâ untuk masa menunggu (Arab, Iddah) bagi istri yang dicerai. Kendatipun perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari Al-Qurâan dan sunnah.

Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabiin, bermunculanlah para ulama dari generasi itu seperti Sa`id ibnul Musayyib,Hasan Al-Bashri,Muhammad bin Siriin dan yang lainnya timbul juga tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria.. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.

Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Ash-Shafii (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafii pendiri madzhab Syafii yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabilah. Beliau adalah murid Imam Syafi`i. Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.

Pada saat yang sama studi terhadap hadits-hadits Nabi mulai mendapatkan momentum. Dari sini muncullah nama-nama perawi (pengumpul) Hadits terkenal seperti Abu Abdullah Muhammad Abu Ismail al-Bukhari atau Imam Bukhari (w.256 h.), Muslim Ibn al-Hajjaj atau Imam Muslim (w.261 h.), Tirmidzi (w.279 h.), Abu Dawud (w.279 h.), Ibnu Majah (w.273), NasaiI (w.303 h.). Kumpulan Hadits-hadits mereka terkenal dengan sebutan Kutub as-Sittah atau Enam Kitab Kumpulan Hadits-hadits Nabi. Enam kitab Hadits ini oleh para pakar fiqh setelah Imam Madzhab yang empat diambil sebagai salah satu sumber rujukan utama di dalam menetapkan hukum Islam.

Pada prinsipnya keempat madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafiâi dan Hanbali) secara substantif tidaklah berbeda, yang berbeda satu sama lain hanya menyangkut hal-hal detail (furu'). Kesamaan substan­tif ini terutama berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang mereka pakai dalam melak­sanakan aktivitas hukum­nya: al-Qur`an, al-Hadits, Ijma` (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi). Sumber hukum yang keempat ini akan diberlakukan apabila terjadi suatu kasus yang solusinya tidak ditemukan dalam sumber hukum yang tiga.

Berdasarkan keempat sumber hukum inilah para pakar hukum Islam atau pakar ahli fikih menetapkan keputusan-keputusan hukum yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Dari sini, muncullah ratusan bahkan ribuan kitab-buku tentang hukum Islam atau fikih sebagai antisipasi serta respon ahli fikih terhadap persoalan-persoalan hukum pada masing-masing zamannya.

Dalam madzhab Hanafi seperti : Al-mabsuut – Imam Assarkhosi, Bada`iusshona`I – Al-kasani, dan sebagainya. Dari madzhab Maliki seperti : Mukhtashor kholil – Kholil bin Ishaq Al-Jundi, Hasyiyah Addasuqi – Muhammad bin Arafah Addasuqi dan sebagainya. Dari madzhab Syafi`i seperti : Mukhtashor Muzani – Ismail bin Yahya Al-Muzani Murid imam Syafi`I, Al-Majmu` - imam Nawawi, Al-Muhadzzab – imam Al-Mawardi dan sebagainya. Dari madzhab Hanbali seperti : Al- Mughni – Ibnu Qudamah, Assyarh Al-Kabir – Ibnu Qudamah dan yang lainnya.

Dari kalangan madzhab Syafiâi (madzhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia), terbit ratusan bahkan ribuan buku fikih, hasil karya ulama-ulama fikih terdahulu. Kitab-kitab ini yang di kalangan pesantren di sebut kitab kuning menjadi pokok kajian para santri di pesantren salaf.

Sekilas Tentang Madzhab

Pada dasarnya, Madzhab bermakna: Sebuah metodologi penalaran dan istinbat (menyimpulkan) untuk menghasilkan sebuah hukum. Sedangkan menurut arti bahasa, Madzhab bererti Thariqah atau jalan dan tempat pergi / keluar. Hal ini bererti bahawa setiap hukum yang keluar (dihasilkan) akan melalui jalan / madzhab tersebut.
Dalam dunia ilmu fiqh, istilah Madzhab bermaksud: Keputusan-keputusan hukum berbagai masalah yang dihasilkan melalui metodologi penalaran dan istinbat seorang imam. Contohnya: Madzhab Abu Hanifah, bererti keputusan hukum yang dihasilkan berdasarkan kepada metodologi istinbat yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah.

Dalam dunia Islam tercatat ada sekitar 113 madzhab kecil maupun besar yang telah memberikan sumbangsih yang sangat berharga terhadap pekembangan ilmu fiqh akan tetapi banyak diantar madzhab tersebut yang tidak bertahan lama sehingga sampai pada zaman sekarang. Ada beberapa factor yang menyebabkan ketidak berlangsungan madzhab-madzhab tersebut diantaranya adalah kurangnya pengikut madzhab tersebut atau ketika pendiri madzhab wafat tidak meninggalkan buah karya dalam bentuk kitab-kitab yang bisa diambil manfaat oleh generasi selanjutnya.

Adapun madzhab yang yang terkenal dan sudah menjadi ijma` ulama sebagai madzhab yang boleh diikuti ada empat yaitu : Hanafi, Maliki, Syafi`I dan Hanbali.

Ada beberapa factor yang menjadikan madzhab-madzhab tersebut boleh untuk diikuti diantaranya adalah : karena madzhab-madzhab tersebut memiliki para pengikut yang banyak dan selalu mencurahkan perhatiannya dalam menggali madzhab imam mereka. Adanya kitab-kitab peninggalan imam pendiri madzhab atau kitab-kitab yang dikarang oleh murid-muridnya yang menjabarkan tentang madzhabnya. Adanya sekelompok orang dari setiap generasai yang membaktikan dirinya untuk keberlangsungan madzhab.

Madzhab Hanafi Dan Manhajnya

a. Biografi Imam Abu Hanifah

Beliau bernama Nu’man bin Tsabit bin Zutha, dan dikenal dengan panggilan Abu Hanifah. Lahir di Irak pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Nenek moyangnya keturunan Persia, tetapi sejak datuknya (Zutha), keluarga Abu Hanifah telah memeluk Islam. Ayah dan Datuk Abu Hanifah sempat bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. di Irak.

Abu Hanifah termasuk tabi`in ia hidup dimana empat sahabat rasulullah masih hidup yaitu Anas bin Malik di Basrah,Abdullah bin Abi Auf di kufah,Sahal bin Sa`ad Assaidi di Madinah dan Attufail Amir bin Wasilah di Makkah. Dari keempat sahabat tersebut tidak bertemu dengannya kecuali Anas bin Malik dan darinya Abu Hanifah meriwayatkan hadits.

Abu Hanifah menerima hadits dari Atha bin Abi Rabah, Nafi` maula Ibnu Umar, Qatadah dan Hammad bin Sulaiman. Dalam ilmu Fiqh beliau belajar kepada Hammad, Ibrahim Annakha`I, Al-Qamah Annakha`I dan Al-Aswad bin Yazid dari Ibnu Mas`ud.Diantara Murid-Murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Assyaibani, Zufar, Al-Hasan bin Ziyad.

Abu Hanifah tumbuh dalam keluarga pedagang, sehingga bakat dagangpun ada dalam dirinya. Tetapi kerana kecerdasan yang diberikan oleh Allah sangat baik, beliau mengarahkannya kepada dunia ilmu pengetahuan Islam. Sejak muda beliau sudah menghafal al-Quran dan berusaha untuk tidak melupakannya. Setiap waktu beliau membacanya, dan khusus pada bulan Ramadhan beberapa kali mengkhatamkan al-Quran.

Ibnu Al-Mubarak berkata : “orang yang paling faham dalam ilmu Fiqh adalah Abu Hanifah,Imam Syafi`I berkata “ Orang-orang dalam ilmu Fiqh kembali kepada Abu Hanifah.

b. Manhaj Fiqh Abu Hanifah

Dalam sebuah pernyataan, Abu Hanifah menjelaskan manhajnya dalam berijtihad untuk menghasilkan suatu hukum bahwa yang utama adalah kembali kepada al-Quran, Jikalau tidak didapatkan maka berpindah ke Sunnah Rasulillah dan jikalau tidak didapatkan pada keduanya maka berpindah kepada pendapat para sahabat. Sedangkan dalam hukum yang dihasilkan oleh para tabi’in, beliau tidak mengambilnya tetapi lebih memilih untuk melakukan ijtihad sendiri.

Dalam beberapa ungkapan Abu Hanifah yang lain, kita dapati bahwa manhaj fiqh beliau berdasarkan 7 pedoman:

1. Al-Quran, sebagai pedoman utama.
2. Al-Sunnah, sebagai penjelas dan perinci hal-hal yang ada dalam al-Quran.
3. Pendapat-pendapat sahabat, karena merekalah pembawa risalah.
4. Qiyas. (Dalam perkara-perkara yang tidak ada penjelasannya dalam nash-nash al-Quran, sunnah ataupun pendapat sahabat).
5. Istihsan, apabila qiyas yang dilakukan dalam masalah tertentu tidak layak untuk digunakan.
6. Ijma’. (Kesepakatan para mujtahid dalam hukum satu masalah).
7. Urf / kebiasaan (hanya urf shahih yang bisa dijadikan pedoman).

Penulisan madzhab Abi Hanifah : Imam Abu Hanifah tidak membukukan madzhabnya dengan sendiri seperti yang dilakukan oleh imam-imam yang lain tetapi yang membukukan adalah para muridnya dan Abu Yusuf adalah salah satu murid imam Abi Hanifah yang pertama kali membukukan madzhab Abi Hanifah. Dan selanjutnya diteruskan oleh Muhammada bin Hasan Assyaibani.

Madzhab Abi Hanifah banyak di ikuti di Irak, Syiria, Pakistan, Afghanistan dan Turki.

Madzhab Maliki Dan Manhajnya

a. Biografi Imam Malik

Beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir al-Ashbahi salah satu kabilah di Yaman, lahir di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. kakek tertingginya yaitu Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersama beliau kecuali perang Badar.Tumbuh di tengah keluarga yang akrab dengan dunia ilmu dan riwayat hadits serta atsar sahabat, di mana datuknya adalah salah seorang pembesar tabi’in yang sempat meriwayatkan hadits dari sahabat-sahabat terkenal, seperti Umar, utsman, Thalhah dan Aisyah r.a. Bahkan kota Madinah waktu itu masih dipenuhi oleh para ulama yang aktif dalam periwayatan hadits, sehingga Madinah juga dikenal dengan Darul Hadits.

Imam Malik bin Anas menuntut ilmu kepada Ulama-ulama Madinah, Beliau belajar Hadits kepada Abdurrahman bin Hurmuz sekaligus adalah gurunya yang pertama lalu kepada Nafi mawla Ibnu Umar dan juga dari Ibnu Syihab Azzuhri. Imam Malik belajar fiqh kepada Rabi`ah Ar-Ra`yu.

Imam Malik mahir dalam ilmu hadits dan istinbat, sehingga beliau termasuk muhaddits dan faqih. Bahkan Imam bukhori menganggap bahwa sanad hadits yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari nafi’ dari Abdullah bin umar.

Walaupun sejak muda keilmuan Imam Malik sudah menonjol, beliau belum memberanikan diri untuk mengajar di Masjid nabawi kecuali setelah mendapatkan kesaksian dan persetujuan 70 ulama bahwa beliau sudah layak untuk mengajar di tempat mulia tersebut.

Imam syafi`I berkata : “Malik adalah pribadi acuan ajaran Allah pada makhluqnya”. Ibnu Mahdi berkata : “ saya tak pernah melihat seseorang yang akalnya lebih sempurna dan paling taqwa daripada Malik”.Al-Waqidi berkata : “ Majlis Malik adalah majlis yang terhormat dan santun”. Beliau apabila hendak mengajarkan hadits terlebih dahulu mandi,memakai baju terbaik dan tak lupa memakai wewangian.tentang hal itu seseorang bertanya , maka beliau menjawab : “aku menghormati hadits Rasulullah”

b. Manhaj Fiqh Madzhab Maliki

Dalam kitab al-madarik, Qadhi ‘Iyad menyatakan bahwa landasan istinbat Imam Malik adalah sebagai berikut:
1. AQuran.
2. Al-Sunnah.
3. Ijma`

4.Qiyas

5. Amalan Ahli Madinah. (Kerana amalan mereka dianggap sebagai riwayat jama’ah dari jama’ah dan terkadang lebih dikedepankan dari pada hadis ahad).
6. Fatwa Sahabat.
7. Qiyas, Mashalih mursalah dan Istihsan.
8. Sad al-dzarai’.

9.Syar`u man qoblana(syari`at Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad)

Murid-murid Imam Malik dan para perawi madzhabnya diantaranya adalah:

1. Abu Abdurrohman bin Al-Qosim Lahir tahun 128 H dan Wafat di Mesir pada tahun 191 H, belajar pada Imam Malik selama 20 tahun memiliki karang dalam madzhab Maliki yang diberi nama Al-Mudawwanah.

2. Abu Muhammad Abdulloh bin Wahab bin Muslim Lahir pada tahun 125 H dan Wafat pada akhir abad kedua sebelum tahun 197 H.

Madzhab Maliki banyak diikuti di : Mesir, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.

Madzhab Syafi’i Dan Manhajnya

a. Biografi Imam Syafi’i

Imam Syafi’i ialah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin abdi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muttalib bin Abdi Manaf, yang juga kakek Rasulullah (s.a.w). Lahir di Ghaza Palestina pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H.

Ibunya keturunan Yaman dari kabilah al-Azd, bukan orang Quraisy tetapi ia mempunyai keutamaan dalam membentuk dan membesarkan Syafi’i, sedangkan bapanya ialah seorang Quraisy yang meninggal ketika Syafi’i masih bayi, sehingga beliau hidup di Makkah dalam keadaan faqir.

Imam Syafi`i telah hafal Al-Quran dalam usianya yang baru tujuh tahun dan setelah itu beliau masuk kepedalaman suku arab dan bergabung bersama kabilah Huzail untuk belajar bahasa Arab yang fasih bersama mereka, kemudian sertelah fasih berbahasa Arab beliau kembali ke Makkah untuk belajar Fiqh dan guru beliau yang pertama adalah Imam Muslim bin Khalid Azzanji yang mana beliau adalah seorang mufti Makkah.

Dan pada umurnya yang ke 15 tahun guru beliau tersebut telah mengizinkan untuk berfatwa, meski demikian beliau masih semangat untuk belajar hingga pindah ke Madinah untuk menimba ilmu kepada Imam Darul Hijrah yaitu Imam Malik bin Anas dan terus menimba ilmu kepadanya sampai wafatnya yaitu pada tahun 179 H.
Beliau juga meriwayatkan hadits dari Sufyan bin Uyainah dan Al-Fudahil bin Iyad. Beliau juga belajar Madzhab Abi Hanifah dari Imam Muhammad bin Hasan.

Pujian para ulama kepada beliau sangat banyak.Imam Ahmad bin Hambal berkata : “ Dia adalah orang yang paling faham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dan katanya pula : “ saya tidak mengetahui nasikh dan mansukh hadits sebelum saya bergaul dengan Safi`i” dan pantas bagi beliau untuk diberi gelar Nashirussunnah (pembela sunnah)
Cukuplah bagi Imam Syafi’i untuk mendapatkan penghormatan dengan apa yang diungkapkan oleh seorang muhaddits tsiqah (terpercaya) Al-Asmu’i : Saya membetulkan syi’ir-syi’ir kabilah Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy yang bernama Muhammad bin Syafi’i.

b. Manhaj Fiqh Madzhab Syafi’i

Imam Syafii pada awal mulanya belajar kepada Imam Malik dan mengamalkan sesuai dengan apa yang sudah beliau pelajari dari gurunya. Ketika Imam Malik wafat beliau pindah ke Iraq dan sesampainya disana beliau mendapatkan kajian ilmu fiqih yang berbeda dengan apa yang sudah beliau pelajari maka beliaupun kembali belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan tentang fiqhnya imam Abi Hanifah.

Sampai pada akhirnya beliau berdiri sendiri dengan madzhab yang mustaqil (independent)


Landasan fiqh Imam Syafi’i adalah sebagai berikut:
1. Al-Quran.
2. Al-Sunnah.
3. Ijma’.
4. Qiyas.


Ijtihad Imam Syafi’i mengalami dua periode :


Periode pertama: ijtihad yang beliau lakukan semasa tinggal di Irak dan hasil-hasil ijtihadnya dikenal dengan istilah (Qaul Qadim). Ketika itu Imam Syafi`I menyusun kitabnya yang lama yang diberi nama “Al-Hujjah” adapun perawi-perawi madzhab beliau di Irak adalah : Ahmad bin Hambal,Abu Tsaur, Azza`farani dan Al-Karabisi.

Periode kedua: Ijtihad beliau yang dilakukan ketika sudah pindah ke Mesir (Qaul Jadid). Dalam periode kedua ini, Imam Syafi’i melakukan beberapa pembetulan kepada beberapa masalah yang pernah beliau hasilkan pada ijtihad beliau di Iraq, dan menggantikannya dengan apa yang dihasilkan dari ijtihadnya yang baru di Mesir. Dalam suatu kesempatan beliau menegaskan bahawa hasil ijtihadnya yang baru dianggap sebagai pengganti hasil ijtihadnya yang lama ketika di Irak, maka tidak boleh menggunakan apa yang beliau hasilkan dari ijtihadnya yang terdahulu.

Adapun perawi-perawi madzhab beliau di mesir adalah : Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani (w 264 H), Arrabi` Al-Muraadi, Abu Ya`kub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti (w 231H).

Madzhab Syafi`I banyak di ikuti di : Uni Emirat Arab, Palestina, Yaman, Iraq, Indonesia.

Madzhab Hanbali Dan Manhajnya

a. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani, lahir di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Beliau hidup dalam keadaan yatim karena ayahnya wafat disaat beliau masih bayi. Dalam keadaan seperti itulah beliau hidup tidak seperti kebiasaan anak-anak lainnya yang gemar bermain, tetapi beliau sejak kecil sudah terlihat mempunyai semangat bekerja, tahan uji dan mempunyai perangai terpuji. Masa kecilnya dilalui dengan mempelajari Islam, menghafal al-Quran, belajar bahasa Arab, hadits, atsar sahabat dan tabi’in serta sirah Rasul, sahabat dan orang-orang soleh lainnya.

Ilmu yang paling banyak digeluti adalah ilmu hadits, baik dengan menghafal mahupun menulis, hal itu sampai membawa beliau untuk melakukan beberapa kali rehlah ke Bashrah, Kufah, Hijaz dan Yaman.

Kesibukannya dalam dunia riwayat yang mencakup riwayat hadits, fatwa sahabat, tabi’in dan qadha’ mereka, membawa Imam Ahmad dalam menguasai ilmu fiqh yang sangat dalam, apalagi sejak pertama beliau belajar di Irak sudah berinteraksi dengan Abu Yusuf yang banyak membawakan gaya fiqh Imam Abu Hanifah.

Kepakaran Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmu fiqh masih di bawah kepakaran beliau dalam ilmu hadits, bahkan fiqh beliau yang dapat kita lihat adalah hasil fatwa-fatwa beliau yang berdasarkan kepada hadits atau sejenisnya.

b. Manhaj Fiqh Madzhab Hanbali

Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya A’lam al-Muwaqqi’in menyebutkan bahawa fatwa-fatwa Imam Ahmad (fiqh beliau) berlandaskan kepada lima perkara:



1. Mendahulukan nash-nash syar’i (al-Quran dan al-Sunnah).
2. Fatwa para sahabat.
3. Jika Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat tentang hukum satu masalah, maka beliau akan memilih pendapat yang beliau anggap lebih dekat dan lebih sesuai dengan al-Quran atau al-sunnah. Jika tidak beliau temukan yang lebih sesuai, maka beliau cukup menyebutkan pendapat-pendapat yang ada, tanpa memilih atau mentarjihnya.
4. Mengambil hadits Mursal (jika sahabat yang meriwayatkan tidak disebutkan dalam sanad / hadits yang sanadnya hanya sampai kepada tabi’in), dan juga mengambil hadits dho’if yang tidak sampai derajat munkar atau batil. Selain itu, beliau juga mengambil pendapat tabi’in.
5. Menempuh jalan Qiyas, jika tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan seperti yang telah disebutkan di atas.

Urutan kitab-kitab Madzhab Syafi`I :

  1. Imam Syafi`I meninggalkan beberapa kitab yaitu : Mukhtashor Muzani, Muhktashor Buwaithi, Al-Imla` dan Al-Musnad. Empat kitab ini berada dalam keadaannya yang awwal belum tersentuh oleh ikhtishor , syarh atau juga hasyiyah.
  2. sampai akhirnya datang era imam Al-Haramain yang mengumpulkan keempat kitab tersebut dalam satu kitab yang diberi nama “Nihayatul Mathlab”,yang terdiri dalam 50 jilid dikatakan para ulama jikalau kitab ini ada sekarang niscaya kitab ini adalah hasil karya terbesar yang pernah dihasilkan oleh ulama islam.
  3. ketika datang era imam Al-Ghozali murid imam Al-Haramain beliau mengikhtishar kitab ini kedalam beberapa kitab yaitu : Al-Washit,Al-Bashit Al-Khulashoh. Imam Ghozali juga masih memiliki kitab lain yaitu Al-Wajiiz.
  4. ketika datang era imam Arrafi`i beliau mengsyarahkan kitab Al-Khulashoh dalam kitabnya yang diberi nama Al-Muharrar. Sedangkan kitab Al-Wajiz karangan AL-Ghozali beliau syarahkan dalam kitabnya yang diberi nama Fathul Aziz atau biasa disebut Al-Aziz.
  5. ketika datang era imam Nawawi beliau mengikhtisarkan dan menambahi beberapa bagian kitab Al-Muharrar dalam kitabnya yang diberi nama Minhajuttholibin kitab inilah yang selanjutnya menjadi pegangan para ulama madzhab syafi`I setelah era beliau. Sedangkan kitab Al-Aziz beliau ikhtisharkan dalam kitabnya yang diberi nama Raudhatuttholibin.
  6. ketika datang era Imam Zakariyah Al-Ansharie beliau kembali mengikhtisharkan kitab Minhajuttholibin dalam kitabnya yang diberi nama Manhajutthullab.
  7. selanjutnya setelah era Imam Al-Anshori dan Manhajutthullab tidak diriwayatkan ada ulama yang berusaha kembali mengikhtisharkan kitab-kitab yang tersebut diatas khususnya kitab Minhajuttholibin karangan Imam Nawawi dan kitab Manhajutthullab karangan Imam Zakariya Al-Anshori. Tapi sebaliknya ulama-ulama setelah era tersebut lebih banyak untuk memfokuskan kepada kedua kitab tersebut dengan mensyarahkan keduanya.
  8. banyak sekali kitab-kitab yang dikarang sebagai syarah dari kitab Minhajuttholibin tercatat ada tiga yang terkenal yaitu :

- Tuhfatul Muhtaaj yang dikarang oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami

- Nihayatul Muhtaaj yang dikarang oleh Imam Ibnu Hajar Arramli

- Mughnil Muhtaaj yang dikarang oleh Imam Al-Khotib Assyarbini.

Sedangkan syarah dari kitab Manhajutthullab diantaranya yaitu Kitab Fathul Wahhab yang dikarang sendiri oleh imam Zakariya Al-Anshari.Wallahua`lam bisshowaab.

Catatan :

1.sejarah pembentukan dan perkembangan hukum islam. Syekh Muhammad Ali Assayisi

2. Al-Madkhol fitta`rif bil fiqhil islami – Muhammad Musthofa assyalabi.

Powered By Blogger

playboy

playboy

buricak burinong

buricak burinong
kukupu lucu meureun....

Mengenai Saya

Foto saya
Saya... perempuan yang baik hati, supel, tapi kadang nyebelin... seorang mahasiswi hukum. yang mengalami kecelakaan sejarah karena salah masuk jurusan.... tapi... karena kecelakaan sejarah itu aku tahu banyak hal yang sebelumnya tak pernah terbersit difikiranku.. berminat jadi teman??? kirim email aza langsung

apa pendapatmu tentang hidup???

full house

full house
ji eun sama hyong jay butuh waktu buat memahami arti dari yang sudah terjadi. intinya.....ya..gitu lah!!!!!

NU pisan

NU pisan
tanyakan pada dunia kenapa harus ada Nahdlatul Ulama

Hadrotus Syaikh

Hadrotus Syaikh
Hasyim Asy'ari

IPPNU

IPPNU
saudara organisasiku

terserah

terserah
aku dilahirkan,,,aku dibesarkan..aku dididik..bukan untuk menghancurkan dunia dan menjadi racun dunia. tapi aku datang untuk memahami ke-AKU-anku. aku datang hanya untuk singgah, ikut menorehkan tinta peristiwa hidupku diatas kertas putih kehidupan.

it's me!!!!

it's me!!!!